Malam, Alun-Alun Pamulang dan Puisi-Puisi Lainnya
Malam, Alun-Alun Pamulang
sayangKu.
setelah malam rebah
suara kaki lima kalah
karena segala perbincangan
selalu melahirkan wajah yang duka
rencana-rencana bertengkar
dalam mitos dan ambisi yang hambar.
di sepanjang trotoar dan di seberangnya
Tugu baru menyala,
di sini, di Pamulang yang ramai
dan sangsi
wajah-wajah gemetar
kehidupan samar-samar.
ah, buset, sayangKu!
dari suara-suara yang membludak
keterasinganku semakin galak.
maka, keramaian, kemacetan,
kemajuan yang hampa, dan
sampah yang tak ada habisnya
menjerat emosi jiwa –sia-sia!
sayangKu.
walau perjalanan dunia begitu cepat
dan para pemberontak punya tekad bulat
kita tetap sama
walau memakai wajah baru
dan ketertinggalan demi ketertinggalan
dan kemajuan, dan kebingungan
tak menghasilkan apa-apa
selain dosa, payah, dan celaka.
sayangKu.
setelah bulan telanjang
birahi melahirkan pemberontakan
dan keterasinganku tak terelakkan.
astaga! wajah kita bimbang
walau telah menghambur-hamburkan doa
kita tetap sebatangkara, dan dibayangi dosa
kehidupan nelangsa, dan kelahiran
dari hari baru tak ada bedanya.
sayangKu, malam di sini tetap sama
walau polusi jahat menakuti kita
dan orang-orang miskin tetap kalah
dan orang-orang kalah tetap sengsara
dan sebagian anak muda
menyesali kelahiran hidupnya
mereka berontak tapi kalah
mereka melawan tapi percuma
mereka berpolitik tapi sia-sia
mereka pulang ke rumah
tapi semakin sengsara
mereka saling percaya tapi saling curiga.
sayangKu
langit hitam dan udara sangar
tapi bolehkah kugerayangi
jiwamu dengan liar?
setelah malam rebah
dan Pamulang hanya sisa-sisa
Tuhan menyelimuti tangis kita
Tuhan menjelma sedih dan derita
dan kepasrahan yang angkuh
tertunda dalam nelangsa yang resah.
tapi, bagaimana menghindari kenyataan?
astaga! itu masalah bersama
itu yang harus dipikirkan bersama
dan kematian?
bukankah Tuhan
menyediakan sorga?
tapi, penerimaan seperti apa
yang musti kita percaya?
ah... sayangKu.
apakah malam dan Pamulang
mengerti maksud kita?
hai, sayangKu
dengarlah: kibarkan nafsu
agar hidup tak melulu begitu
walau hidup memang begitu
dan agar hidup tak melulu rutinitas
tapi juga birahi yang bebas-tak terbatas
astaga! apakah itu tidak sia-sia?
dan dengan cara apa mereka
mengerti kita?
malam kalang-kabut
dari suara vespa yang ngebut
dan siluet Tugu baru hampa
menyoroti keasingan wajah kita.
tapi, sayangKu...
masih pantaskah kuucapkan cinta?
bila prestasi budaya
kemurnian mantra
selalu mengudara
kabur-lepas dari jangkauan hidup kita!
Pamulang, 2023
Purnama, Jalan Pahlawan
hai, dik.
mari ingat kembali rumah suka
yang kini musnah karena suatu apa.
jangan kauingat yang lainnya
ingatlah, pohon teduh
ketika aku memelukmu
dan angin mengaliri cinta kita.
sial. memang sial nasib kita.
aku tidak lulus sekolah
dan bapakmu kurang suka.
dan hari-hari yang lalu
mengalir bagai lautan arak
karena semakin membuat kau,
membuat kita berjarak.
dan kini, kuingat lagi
wajahmu di balik purnama.
walau agak beda, tapi senyumnya bergairah.
di sepanjang trotoar dan
berjejer ruko makanan
senyum birahi memesona
tapi sebab apa keadaan gampang berubah?
aku benci wajah baru
karena tak kukenali bau rambutmu
tak kukenali tubuh molekmu
tak kulihat lagi kebon milik bapakmu
kambing jantan, pohon rambutan
anak-anak ingusan, dan gincu merah mudamu.
kautahu, dik?
mengenang engkau
adalah mengenang budaya.
ketika lelaki lain menggoda
aku tak terima dan berani berkata:
daging ini milik kita!
tapi, dia, bukan sekadar benda
coba maju kalau berani
kita ogah seri, apalagi kalah!
ha-ha-ha. itu lucu, dik.
aku terkenang dan terkesima.
lalu, babamu keluar dan marah
ia tunjuk semua pakai senjata
matanya merah dan ia berkata:
astaga! bocah kemaren sore
pada balik semua. kagak ada
cinta-cintaan. gadis perawan
bukan barang jualan.
hai, dik.
cinta melahirkan kenangan
dan nyatanya itu yang berkesan.
meski aku tak dapati dirimu
dan tak kukenali wajah masyarakatmu
dalam pantulan purnama itu.
hai, dik.
hari berganti semaunya
tapi apakah kenangan juga musnah?
sambil kususuri jejakmu
kunikmati hiburan murahan
dan aku terkenang oleh kakakMu
yang berkisah semalaman tak kenal waktu.
(+) apa kutahu, Rempoa? ini pinggiran Jakarta
tapi kita orang Betawi, dan
orang menganggap
kita malas dan ceroboh
atau gampang jual tanah
untuk kehidupan yang melulu susah.
(-) aku tahu ini Jakarta. Dan, semua orang
Indonesia migrasi ke Jakarta.
(+) meski kautahu beberapa.
tapi, belum tentu kaudapati adikku jadi milikmu.
karena budaya cinta tak sama
dengan istilah cinta
dan perihal itu, hasilnya beda-beda.
(-) aku tahu itu bukan masalah
dan aku hanya punya pasrah.
hai, dik.
purnama berganti wajah
dan kenanganmu samar-samar menyala
tapi adat yang serakah
dan budaya manusia selalu berubah
selalu menyiksa kenangan
selalu menakuti masa depan.
astaga! purnama menyelinap dalam tradisi pencak silat
dan rinduku padamu terlelap, sesat!
hai, dik.
mari ingat kembali rumah suka
yang kini musnah karena suatu apa.
dulu, auranya
namanya, hidupnya...
astaga... jangan sebut itu...
sudah biarlah semua menyatu
dan biarlah masyarakatmu tak yakin itu
karena, sebentar lagi
sesaat lagi
sisa-sisa itu mati
dan kau dan aku abadi
—walau hanya dalam puisi.
Rempoa, 2022
Kasidah Anggur dan Rembulan
—akibat “Si burung merak”
Haruskah kutulis puisi
sambil menenggak anggur
dan menyembah bulan?
setelah itu, haruskah aku
berpesta sunyi-sepi sampai mati
dan mabuk nyanyian kehidupan?
sebab, begitulah kunci legenda
dari para penyair memberi jawaban.
dan haruskah aku telusuri jiwanya?
dan musim semi yang hampa
dan dari seorang penyair tua
yang diledek penyair muda
terbentang pertarungan catur
di bawah bintang-bintang.
tapi apakah begitu?
anggur dan rembulan!
haruskah kupelajari metafora
dari penyair cinta
untuk kuberikan pada perempuan?
dan kupelajari estetika
untuk kutuliskan kemurnian perempuan
serta kupelajari mantra dan teori
dari akademisi
untuk kuikutsertakan di sayembara
hati perempuan?
tapi apakah begitu?
Anggur dan rembulan!
haruskah kudalami ruh-ruh
kehidupan dari keseharian
penyair gedean?
haruskah kubangun kembali
puing-puing makna dalam bahasa
untuk melahirkan puisi yang mati?
ah... apa aku bisa menuliskan
dan mengerti semua ini?
meskipun kamus dan rujukan
telah kubaca
tapi bagaimana menghidupkan
puisi yang mati?
bagaimana ia dilahirkan kembali?
bagaimana, hendaknya aku
menulis kiasan, kenangan,
menuliskan perempuan
dan semuanya itu?
Haruskah kutulis
puisi berbahan anggur
dan rembulan?
agar lahirlah bayi puisi abadi
dan di atas permukaan dunia
ia lihai menari, dan punya eksistensi
dan tidak bersembunyi, serta
mengembara di seluruh keadaan!
tapi apakah begitu?
anggur dan rembulan!
Ciputat, 2023
Ciputat, Pasar Malam
dalam huru-hara pasar malam
hatiku telanjang di tengah suara
di malam yang ramai itu
dengan kegembiraan gaji pas-pasan
berwarnalah wajah oleh kelap-kelip lampu
sambil menggerutu:
aku akan rebahkan jiwaku sementara
untuk kucuri kegembiraan orang gedean
yang berlibur tiap akhir pekan
—dan aku pilih tempat ini
sebagai hiburan sebelum mati.
dari udara yang busuk ini
kuteduhkan kebosanan
dan suara anak-anak membuatku tersenyum
ah... mereka suka uang buat beli manisan.
dalam huru-hara pasar malam
udara ramai saling tertawa
karena semua berwarna
semua suka musik yang diputar asal-asalan
semua suka belanja baju dan makanan
ah... semua suka menghamburkan uang
akhirnya aku sangsi sendiri
di tengah pesta yang kurayakan sendiri
senyum itu hanya basa-basi
kesenangan basa-basi
keramaian ini malahan makin sepi
dan dalam kegelisahan, suara
dari tenggara menyapaku:
apakah ini hiburan? apakah ini alternatif?
apakah ini kegembiraan? apakah ini pesta?
dalam huru-hara pasar malam
hatiku gersang di belantara bising
yang angkuh, bising yang celaka.
Ciputat, 2022
Setu Gintung, Minggu Pagi
matahari di minggu pagi
tertawa, dan ratu buaya
menganga menghadap utara
o, berhamburan rambut hitam
para perawan
di pintu air, di bawahnya
tugu peringatan, aku lihat
air lewat dari menit yang hampa
o, berirama suara kaki
pejalan kaki
matahari di minggu pagi
menyoroti
dua tiga pohonan
berjejeran ia menghadap Setu
semacam kiblat dosa yang padu
dan batu-batuan nyaring suaranya
daun-daun normal bentuknya
o, abad baru berlangsung.
matahari di minggu pagi
telanjang di sekitar air Setu
orang-orang gembira
anak-anak membeli permen
dan sepasang pasutri hemat uang bulanan
menatap Setu Gintung
adalah menatap kemungkinan
o, mungkin selamat
mungkin kiamat
tapi, abad baru amatlah sesak
ha-ha-ha. Setu Gintung gembira
tubuhnya telanjang
dan dalam riuh, riak airnya
menyadari kesendirian.
Ciputat, 2022