Dukung Kreator Sumber Daya Pikiran

Situs dalam Proses Pemulihan!

Cari Artikel

Malam, Alun-Alun Pamulang dan Puisi-Puisi Lainnya

Ilustrasi - trehugger.com

Malam, Alun-Alun Pamulang


sayangKu.

setelah malam rebah

suara kaki lima kalah

karena segala perbincangan

selalu melahirkan wajah yang duka

rencana-rencana bertengkar

dalam mitos dan ambisi yang hambar.


di sepanjang trotoar dan di seberangnya

Tugu baru menyala, 

di sini, di Pamulang yang ramai 

dan sangsi

wajah-wajah gemetar

kehidupan samar-samar.

ah, buset, sayangKu!

dari suara-suara yang membludak 

keterasinganku semakin galak.

maka, keramaian, kemacetan,

kemajuan yang hampa, dan

sampah yang tak ada habisnya

menjerat emosi jiwa –sia-sia!


sayangKu.

walau perjalanan dunia begitu cepat

dan para pemberontak punya tekad bulat

kita tetap sama

walau memakai wajah baru

dan ketertinggalan demi ketertinggalan

dan kemajuan, dan kebingungan 

tak menghasilkan apa-apa

selain dosa, payah, dan celaka.


sayangKu.

setelah bulan telanjang

birahi melahirkan pemberontakan

dan keterasinganku tak terelakkan.

astaga! wajah kita bimbang

walau telah menghambur-hamburkan doa

kita tetap sebatangkara, dan dibayangi dosa

kehidupan nelangsa, dan kelahiran

dari hari baru tak ada bedanya.

sayangKu, malam di sini tetap sama

walau polusi jahat menakuti kita

dan orang-orang miskin tetap kalah

dan orang-orang kalah tetap sengsara

dan sebagian anak muda

menyesali kelahiran hidupnya

mereka berontak tapi kalah

mereka melawan tapi percuma

mereka berpolitik tapi sia-sia

mereka pulang ke rumah

tapi semakin sengsara

mereka saling percaya tapi saling curiga.


sayangKu

langit hitam dan udara sangar

tapi bolehkah kugerayangi 

jiwamu dengan liar?

setelah malam rebah

dan Pamulang hanya sisa-sisa 

Tuhan menyelimuti tangis kita

Tuhan menjelma sedih dan derita

dan kepasrahan yang angkuh

tertunda dalam nelangsa yang resah.

tapi, bagaimana menghindari kenyataan?

astaga! itu masalah bersama

itu yang harus dipikirkan bersama

dan kematian?

bukankah Tuhan

menyediakan sorga?

tapi, penerimaan seperti apa

yang musti kita percaya?


ah... sayangKu.

apakah malam dan Pamulang

mengerti maksud kita?

hai, sayangKu

dengarlah: kibarkan nafsu

agar hidup tak melulu begitu 

walau hidup memang begitu

dan agar hidup tak melulu rutinitas

tapi juga birahi yang bebas-tak terbatas

astaga! apakah itu tidak sia-sia?

dan dengan cara apa mereka

mengerti kita?


malam kalang-kabut

dari suara vespa yang ngebut

dan siluet Tugu baru hampa

menyoroti keasingan wajah kita.

tapi, sayangKu...

masih pantaskah kuucapkan cinta?

bila prestasi budaya

kemurnian mantra

selalu mengudara

kabur-lepas dari jangkauan hidup kita!


Pamulang, 2023


Purnama, Jalan Pahlawan


hai, dik.

mari ingat kembali rumah suka

yang kini musnah karena suatu apa.

jangan kauingat yang lainnya

ingatlah, pohon teduh

ketika aku memelukmu

dan angin mengaliri cinta kita.


sial. memang sial nasib kita.

aku tidak lulus sekolah

dan bapakmu kurang suka.

dan hari-hari yang lalu

mengalir bagai lautan arak

karena semakin membuat kau,

membuat kita berjarak.

dan kini, kuingat lagi

wajahmu di balik purnama.

walau agak beda, tapi senyumnya bergairah.


di sepanjang trotoar dan

berjejer ruko makanan

senyum birahi memesona

tapi sebab apa keadaan gampang berubah?

aku benci wajah baru

karena tak kukenali bau rambutmu

tak kukenali tubuh molekmu

tak kulihat lagi kebon milik bapakmu

kambing jantan, pohon rambutan

anak-anak ingusan, dan gincu merah mudamu.


kautahu, dik?

mengenang engkau

adalah mengenang budaya.

ketika lelaki lain menggoda

aku tak terima dan berani berkata:

daging ini milik kita!

tapi, dia, bukan sekadar benda

coba maju kalau berani

kita ogah seri, apalagi kalah!

ha-ha-ha. itu lucu, dik.

aku terkenang dan terkesima.

lalu, babamu keluar dan marah

ia tunjuk semua pakai senjata

matanya merah dan ia berkata:

astaga! bocah kemaren sore

pada balik semua. kagak ada

cinta-cintaan. gadis perawan

bukan barang jualan.


hai, dik.

cinta melahirkan kenangan

dan nyatanya itu yang berkesan.

meski aku tak dapati dirimu

dan tak kukenali wajah masyarakatmu

dalam pantulan purnama itu.


hai, dik.

hari berganti semaunya

tapi apakah kenangan juga musnah?

sambil kususuri jejakmu

kunikmati hiburan murahan

dan aku terkenang oleh kakakMu

yang berkisah semalaman tak kenal waktu.

(+) apa kutahu, Rempoa? ini pinggiran Jakarta

tapi kita orang Betawi, dan

orang menganggap

kita malas dan ceroboh

atau gampang jual tanah

untuk kehidupan yang melulu susah.

(-) aku tahu ini Jakarta. Dan, semua orang

Indonesia migrasi ke Jakarta.

(+) meski kautahu beberapa. 

tapi, belum tentu kaudapati adikku jadi milikmu.

karena budaya cinta tak sama

dengan istilah cinta

dan perihal itu, hasilnya beda-beda.

(-) aku tahu itu bukan masalah

dan aku hanya punya pasrah.


hai, dik.

purnama berganti wajah

dan kenanganmu samar-samar menyala

tapi adat yang serakah

dan budaya manusia selalu berubah

selalu menyiksa kenangan

selalu menakuti masa depan.

astaga! purnama menyelinap dalam tradisi pencak silat

dan rinduku padamu terlelap, sesat!


hai, dik.

mari ingat kembali rumah suka

yang kini musnah karena suatu apa.

dulu, auranya

namanya, hidupnya...

astaga... jangan sebut itu...

sudah biarlah semua menyatu

dan biarlah masyarakatmu tak yakin itu

karena, sebentar lagi

sesaat lagi

sisa-sisa itu mati

dan kau dan aku abadi

—walau hanya dalam puisi.


Rempoa, 2022


Kasidah Anggur dan Rembulan

—akibat “Si burung merak”


Haruskah kutulis puisi

sambil menenggak anggur

dan menyembah bulan?

setelah itu, haruskah aku

berpesta sunyi-sepi sampai mati

dan mabuk nyanyian kehidupan?

sebab, begitulah kunci legenda

dari para penyair memberi jawaban.

dan haruskah aku telusuri jiwanya?

dan musim semi yang hampa

dan dari seorang penyair tua

yang diledek penyair muda

terbentang pertarungan catur

di bawah bintang-bintang.

tapi apakah begitu?

anggur dan rembulan!


haruskah kupelajari metafora

dari penyair cinta

untuk kuberikan pada perempuan?

dan kupelajari estetika

untuk kutuliskan kemurnian perempuan 

serta kupelajari mantra dan teori

dari akademisi

untuk kuikutsertakan di sayembara

hati perempuan?

tapi apakah begitu?

Anggur dan rembulan!


haruskah kudalami ruh-ruh

kehidupan dari keseharian

penyair gedean?

haruskah kubangun kembali

puing-puing makna dalam bahasa

untuk melahirkan puisi yang mati?

ah... apa aku bisa menuliskan

dan mengerti semua ini?

meskipun kamus dan rujukan

telah kubaca

tapi bagaimana menghidupkan

puisi yang mati?

bagaimana ia dilahirkan kembali?

bagaimana, hendaknya aku

menulis kiasan, kenangan,

menuliskan perempuan 

dan semuanya itu?


Haruskah kutulis

puisi berbahan anggur

dan rembulan?

agar lahirlah bayi puisi abadi

dan di atas permukaan dunia

ia lihai menari, dan punya eksistensi 

dan tidak bersembunyi, serta

mengembara di seluruh keadaan!

tapi apakah begitu?

anggur dan rembulan!


Ciputat, 2023


Ciputat, Pasar Malam


dalam huru-hara pasar malam

hatiku telanjang di tengah suara

di malam yang ramai itu

dengan kegembiraan gaji pas-pasan

berwarnalah wajah oleh kelap-kelip lampu

sambil menggerutu:

aku akan rebahkan jiwaku sementara

untuk kucuri kegembiraan orang gedean

yang berlibur tiap akhir pekan

—dan aku pilih tempat ini

sebagai hiburan sebelum mati.

dari udara yang busuk ini

kuteduhkan kebosanan

dan suara anak-anak membuatku tersenyum

ah... mereka suka uang buat beli manisan.


dalam huru-hara pasar malam

udara ramai saling tertawa

karena semua berwarna

semua suka musik yang diputar asal-asalan

semua suka belanja baju dan makanan

ah... semua suka menghamburkan uang

akhirnya aku sangsi sendiri

di tengah pesta yang kurayakan sendiri 

senyum itu hanya basa-basi

kesenangan basa-basi

keramaian ini malahan makin sepi

dan dalam kegelisahan, suara

dari tenggara menyapaku:

apakah ini hiburan? apakah ini alternatif?

apakah ini kegembiraan? apakah ini pesta?


dalam huru-hara pasar malam

hatiku gersang di belantara bising

yang angkuh, bising yang celaka.


Ciputat, 2022


Setu Gintung, Minggu Pagi


matahari di minggu pagi

tertawa, dan ratu buaya

menganga menghadap utara

o, berhamburan rambut hitam

para perawan


di pintu air, di bawahnya

tugu peringatan, aku lihat

air lewat dari menit yang hampa

o, berirama suara kaki

pejalan kaki


matahari di minggu pagi

menyoroti 

dua tiga pohonan 

berjejeran ia menghadap Setu

semacam kiblat dosa yang padu

dan batu-batuan nyaring suaranya

daun-daun normal bentuknya

o, abad baru berlangsung.


matahari di minggu pagi

telanjang di sekitar air Setu

orang-orang gembira

anak-anak membeli permen

dan sepasang pasutri hemat uang bulanan


menatap Setu Gintung

adalah menatap kemungkinan

o, mungkin selamat

mungkin kiamat

tapi, abad baru amatlah sesak


ha-ha-ha. Setu Gintung gembira

tubuhnya telanjang

dan dalam riuh, riak airnya

menyadari kesendirian.


Ciputat, 2022