Ilustrasi - ChatGPT
Dua dekade lebih setelah gerakan mahasiswa menumbangkan rezim Orde Baru, janji reformasi yang dulu dielukan kini tampak seperti puing, demokrasi prosedural yang hampa, dominasi oligarki yang makin telanjang, dan gerakan mahasiswa radikal yang nyaris menjadi mitos romantik belaka. Seolah sejarah hanya berputar, rakyat kembali dijauhkan dari ruang pengambilan keputusan, sementara elite politik dan pemodal merayakan bagi-bagi kue di meja kekuasaan.
Awalnya, reformasi 1998 memang menjanjikan banyak, penghapusan dwifungsi ABRI, kebebasan
berpendapat, desentralisasi, dan penegakan HAM. Namun janji itu layu satu per
satu. Kebebasan sipil justru dikurangi lewat regulasi digital, RUU
kontroversial, dan kriminalisasi aktivis. Desentralisasi berubah jadi ajang
rebutan rente politik lokal. Sementara oligarki tumbuh subur, bukan sebagai
hantu, tetapi sebagai wajah sehari-hari politik, mereka duduk di parlemen, membiayai kampanye,
hingga mengatur arah kebijakan.
Lebih tragis, gerakan mahasiswa yang dulu menjadi jantung
perlawanan perlahan kehilangan nyali dan arah. Dari gerakan moral yang lantang
menggugat struktur kekuasaan, menjadi simbol seremonial, aksi satu hari, foto viral, lalu pulang.
Kampus yang dulunya ruang diskusi kritis berubah jadi ruang sunyi, sibuk dengan
lomba proposal, seminar wirausaha, dan festival kreatif. Radikalisme kritis
diganti “kreativitas”, diskusi ide diganti branding organisasi.
Penyebabnya bukan hanya apatisme generasi, tetapi juga
represi halus yang makin canggih, kampus
dikendalikan lewat birokrasi akademik dan regulasi, aktivis diawasi lewat
digital surveillance, dan ruang media dibanjiri narasi yang mereduksi kritik
menjadi noise. Sementara itu, media arus utama, yang seharusnya menjadi anjing
penjaga kekuasaan, perlahan terkooptasi modal. Kritik dianggap mengganggu
stabilitas; loyalitas dibayar dengan kontrak iklan dan jabatan komisaris.
Demokrasi hari ini tak mati dengan kudeta, tapi dirusak
perlahan dari dalam, pemilu tetap ada,
tetapi pilihan disaring oleh kekuatan modal; parlemen tetap ada, tapi lebih
sering mewakili kepentingan pemilik tambang dan properti daripada rakyat biasa.
Janji reformasi untuk membangun pemerintahan bersih dan akuntabel karam dalam
praktik politik transaksional, pembajakan partai, dan impunitas bagi elite yang
terlibat korupsi.
Kita lupa bahwa reformasi bukan hanya soal ganti rezim,
melainkan soal restrukturisasi relasi kuasa antara rakyat dan negara. Yang
terjadi justru, kuasa lama berganti
baju, dan rakyat kembali jadi penonton. Dari “turunkan Soeharto” menjadi “like
& share petisi,” dari kampanye jalanan menjadi kampanye konten. Radikalisme
diganti viralitas; substansi diganti sensasi.
Dua dekade setelah 1998, kita terpaksa bertanya ulang, reformasi ini untuk siapa? Siapa yang
diuntungkan? Dan siapa yang paling dikhianati? Yang pasti, mereka yang dulu
turun ke jalan demi demokrasi substantif mungkin tak akan menemukan cita-cita
itu hari ini. Yang tersisa hanyalah demokrasi prosedural, kosong, rapuh, dan
siap dikuasai segelintir pemilik modal.
Referensi
Robison, R., & Hadiz, V. R. (2004). Reorganising Power in Indonesia, The Politics of Oligarchy in an Age of Markets.
Aspinall, E., & Berenschot, W. (2019). Democracy for Sale, Elections, Clientelism, and the State in Indonesia.
Mietzner, M. (2012). “Indonesia’s Democratic Stagnation.” Journal of Democracy.
Hadiz, V. R. (2017). “Imagine All the People? Mobilising Islamic Populism in Indonesia.” Journal of Contemporary Asia.
Lane, M. (2019). Unfinished Nation, Indonesia before and after Suharto.