Fadli Zon, yang entah sejak kapan jadi pakar linguistik dan forensik sejarah, tiba-tiba merasa perlu mengoreksi trauma nasional dengan satu argumen andalan: pemerkosaan Mei 1998 itu tidak massal. Katanya, tidak ada bukti kuat. Tidak ada cukup korban. Tidak memenuhi syarat. Tidak sistematis. Tidak ini, tidak itu, dan tidak lain sebagainya.
Baiklah. Kalau kita ikuti logika ini, maka satu-satunya
kekerasan yang sah diakui oleh negara adalah kekerasan yang jumlahnya banyak
sekali, dilakukan secara resmi, dengan surat perintah, dan si pelaku menuliskan
memo “Ini saya lakukan atas nama institusi.” Kalau tidak begitu, katanya, itu
hanya insiden.
Tapi mari kita tanya balik, Apa sebenarnya yang ditakuti
negara dari kata “massal”?
Kata yang Menuntut Akuntabilitas
“Kekerasan seksual” saja sudah membuat banyak pejabat risih.
Tapi tambahkan kata “massal” di belakangnya, dan kita akan lihat seluruh
jantung kekuasaan mendadak kedinginan.
Kata “massal” bukan sekadar kata sifat. Ia punya implikasi
hukum dan moral. Dalam Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional (1998), yang
sayangnya Indonesia belum ratifikasi karena terlalu sibuk melindungi
jenderalnya, tetang kekerasan seksual massal dalam konteks konflik atau
diskriminasi masuk dalam kategori kejahatan terhadap kemanusiaan. Kata ini
berarti kekerasan itu: Dilakukan secara sistematis atau meluas,Ditujukan pada
kelompok sipil, Didorong oleh motif politik, etnis, gender, atau ideologi.
Jadi kalau negara mengakui bahwa kekerasan seksual 1998
adalah massal, maka ia harus menjawab pertanyaan dimulai dari “Siapa yang
mengorganisir?”. Kemudian “ Siapa yang tahu tapi membiarkan?”, lalu “Siapa yang
mengambil manfaat dari teror ini?” Itulah yang ditakuti.
Dari Kejahatan Individual ke Kejahatan Struktural
Dengan menyebutnya tidak massal, negara sedang berupaya mereduksi kekerasan sistemik menjadi kasus individual. Seolah semua pemerkosa Mei 1998 itu bertindak karena “kebetulan.” Seolah tidak ada pola. Tidak ada kesengajaan. Padahal, kesaksian para penyintas dan laporan Komnas Perempuan tahun 1998 secara eksplisit menyebut adanya pola: Perempuan Tionghoa jadi sasaran spesifik, Tubuh mereka diserang di tempat umum. Mereka diperkosa oleh lebih dari satu orang secara bersamaan. Ada pembiaran oleh aparat.
Itu bukan insiden. Itu teror yang disengaja.
Tapi dengan mencabut kata “massal”, negara mencoba mencabut
makna politik dari kekerasan. Ia mengubah tragedi kolektif menjadi “kasus
biasa”. Dan ketika jadi kasus biasa, maka negara tak perlu minta maaf. Tak
perlu bertanggung jawab. Tak perlu malu.
Depolitisasi yang Menguntungkan Penguasa
Kekerasan berbasis etnis dan gender adalah fakta paling memalukan dalam sejarah bangsa. Maka, cara negara menghindari rasa malu itu bukan dengan menebus dosa, tapi dengan menyapu debu. Kata “massal” terlalu mengganggu narasi damai. Ia memecahkan kaca patri “kesatuan nasional” yang diciptakan lewat mitos palsu dan amnesia kolektif.
Inilah mengapa kita jarang mendengar negara mengucapkan kata
“massal” dalam konteks kekerasan terhadap minoritas. Termasuk Tragedi 1965,
Papua, Timor Leste, dan tentu saja pada Mei 1998.
Karena ketika kita bicara “massal”, kita bicara tentang
sistem. Dan ketika sistem yang kita maksud adalah negara itu sendiri, maka diam
menjadi strategi bertahan hidup.
Luka Tidak Butuh Kuantitas untuk Diakui
Mau satu korban atau seribu, kekerasan seksual adalah
kejahatan. Tapi ketika ada bukti bahwa kekerasan itu diarahkan pada kelompok
tertentu secara sistematis, maka kita bicara tentang penghancuran martabat
manusia yang disengaja. Pertanyaannya bukan: “Berapa jumlah korban?” Tapi:
“Kenapa mereka diserang? Siapa yang menyuruh? Siapa yang membiarkan?”
Dan ketika Fadli Zon bilang “tidak massal,” itu bukan
klarifikasi sejarah, itu adalah pembelaan terhadap kekuasaan yang sejak awal
tidak pernah berdiri di pihak korban.
Kita Tidak Butuh Validasi Negara untuk Mengingat
Kita tidak perlu negara untuk memberi izin agar boleh marah.
Kita tidak perlu pemerintah untuk menyatakan bahwa luka kita nyata. Luka itu
tidak butuh statistik untuk terasa. Tapi yang kita butuhkan adalah keberanian
untuk menyebut kekejaman sebagai kekejaman.
Kalau negara takut pada kata “massal,” maka biar kita yang
mengucapkannya. Biar kita yang terus ulangi, bahwaa kejadian Itu adaalah
kekerasan seksual. Itu sistematis. Itu massal. Itu kejahatan terhadap
kemanusiaan. Dan kalau negara tidak mau menyebutnya, maka kita tahu siapa yang
sebenarnya bersalah.
Referensi
1. Komnas Perempuan. (1998). Catatan Kekerasan Seksual Mei 1998.
2. Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional (Rome Statute, 1998).
3. Human Rights Watch. (1998). The May 1998 Riots in Indonesia.
4. CNN Indonesia. (2025). “Fadli Zon Sebut Pemerkosaan 1998 Tak Massal, Ini Respons Aktivis.”
5. Amnesty International. (2020). Indonesia: Failing Victims of Sexual Violence.
6. Trouillot, M.-R. (1995). Silencing the Past: Power and the Production of History.