Di negeri ini, sejarah tidak lagi ditulis, ia dikuasai. Dan kini, kekuasaan itu semakin pongah, bahwa negara ingin menulis ulang sejarah Indonesia secara resmi, tersentralisasi, dan tentu saja sesuai dengan selera politik mereka.
Seperti Menteri Kebudayaan, Menteri Pendidikan, hingga para
juru narasi negara kini ramairamai bicara tentang “rekonstruksi sejarah”,
“versi tunggal”, dan “penyederhanaan kurikulum sejarah”. Kedengarannya
akademis. Tapi mari kita bicara apa adanya, bahwa ini adalah proyek pemutihan
dosa nasional.
Sebuah rencana besar-besaran untuk menghapus, mengganti, dan
mengatur apa yang boleh diingat—dan lebih penting, apa yang harus dilupakan.
Sejarah Bukan Buku Catatan, Tapi Medan Perang
Dalam Silencing the Past, Michel-Rolph Trouillot menulis
bahwa sejarah adalah hasil dari kekuasaan yang bisa membuat satu versi “fakta”
bertahan, dan yang lainnya hilang ditelan arsip yang tidak pernah dibuka.
Sejarah bukan soal kronologi. Ia adalah soal siapa yang berkuasa atas narasi.
Di Indonesia, kuasa itu kini ingin dipusatkan kembali oleh
negara. Setelah Orde Baru selama 32 tahun mengunci semua versi sejarah ke dalam
dogma anti-komunis dan nasionalisme semu, kita menyaksikan gelombang baru yang
tak kalah berbahaya, yaitu otoritarianisme dalam bentuk pengelolaan sejarah.
Ketika negara mengatakan akan “menulis ulang sejarah
Indonesia”, pertanyaan yang wajib kita ajukan bukan: “Apa isinya?” Tapi: “Siapa
yang menulis? Siapa yang dibungkam?”
Sejarah yang Disterilkan, Luka yang Dihapus
Ambil contoh, dalam Peristiwa 1965. Selama puluhan tahun, yang diajarkan di sekolah adalah bahwa
ratusan ribu orang “dihukum” karena jadi antek G30S. Tanpa bukti, tanpa
pengadilan. Narasinya jelas, bahwa PKI jahat, negara benar, siapa pun yang
dibunuh itu pantas. Korban menjadi penjahat. Pelaku menjadi pahlawan. Sejarah
seperti ini bukan hanya salah, ia menjadi pelaku kriminal.
Kini, ketika sejarah hendak ditulis ulang oleh negara, kita
harus waspada, apakah sejarah 1965 akan tetap dimonopoli? Apakah Mei 1998 akan
disebut “kerusuhan sosial” tanpa menyebut kekerasan seksual? Apakah Timor Leste
hanya jadi catatan kaki dari daftar “tantangan nasional”? Apakah Papua hanya
disebut “wilayah yang perlu dikembangkan”? Sejarah yang ditulis dari ruang
rapat kementerian dan disahkan lewat Perpres bukan sejarah. Itu propaganda.
Negara yang Takut Sejarah, Adalah Negara yang Takut Rakyatnya Ingat
Negara yang sehat tidak takut pada sejarah yang jujur.
Negara yang berani tidak akan mengatur apa yang boleh ditulis, apalagi
menyensor apa yang telah terjadi. Tapi di Indonesia, kita hidup dalam tradisi
negara yang fobia terhadap ingatan rakyatnya sendiri. Karena ingatan adalah
ancaman. Karena begitu rakyat ingat bahwa negara pernah membunuh, memperkosa,
menyiksa, dan membungkam, maka semua legitimasi bisa runtuh.
Maka dimulailah proyek besar ini, rekonstruksi sejarah
sebagai versi yang aman. Aman untuk penguasa. Aman untuk militer. Aman untuk
masa depan yang tak ingin diganggu oleh masa lalu. Padahal, sejarah yang aman
hanyalah kebohongan yang disahkan oleh birokrasi.
Kita Tidak Butuh Versi Tunggal
Tidak ada sejarah yang tunggal. Karena sejarah bukan milik
pemerintah. Ia milik rakyat. Milik korban. Milik yang dibungkam. Milik yang
kehilangan keluarga karena surat tuduhan. Milik perempuan yang diperkosa oleh
aparat negara dan hari ini tidak disebut dalam buku apa pun. Dan jika negara
memaksakan satu versi sejarah, maka itu bukan pendidikan, tapi itu
indoktrinasi.
Buku sejarah yang hanya memuat pahlawan, tanpa luka, tanpa
darah, tanpa penghianatan, adalah buku dongeng. Dan kita tidak sedang mendidik
anak-anak jadi warga negara, tapi menjadikan mereka turis yang tersesat di
tanah airnya sendiri.
Ingatan Kolektif Harus Direbut, Bukan Diserahkan
Proyek sejarah negara ini adalah alarm keras bagi semua
orang yang peduli pada keadilan historis. Karena begitu kita menyerahkan
sejarah kepada negara, kita sedang menyerahkan hak untuk mengingat. Dan jika
kita kehilangan ingatan, kita akan terus mengulangi kekejaman yang sama.
Jadi kalau mereka menulis ulang sejarah, kita juga harus
menulis balik. Dari bawah. Dari suara korban. Dari pinggir. Dari arsip gelap
yang mereka sembunyikan. Karena kalau sejarah hanya ditulis oleh yang berkuasa,
maka rakyat hanya akan hidup dalam versi yang sudah disensor. Dan bangsa yang
hidup dari sejarah yang disensor, adalah bangsa yang tidak pernah benar-benar
merdeka.
Referensi
1. Trouillot, M.-R. (1995). Silencing the Past: Power and the Production of History.
2. Komnas HAM. (2012). Laporan Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat Tragedi 1965–1966.
3. Human Rights Watch. (1998). Indonesia: The 1998 Riots and the Role of the Security Forces.
4. Tempo. (2022). Rebut Narasi 1965: Sejarah dari Korban dan Penyintas.
5. Anderson, B. (1983). Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism.
6. Aritonang, Margareth. (2024). “Kemdikbud Susun Penulisan Ulang Sejarah Nasional.” Kompas.