Dukung Kreator Sumber Daya Pikiran

Situs dalam Proses Pemulihan!

Cari Artikel

Mengkaji Ulang Indonesia Berdasarkan Tipologi Masyarakat ala Clifford Geertz


Sumber Daya Pikiran - Indonesia adalah salah satu negara kepulauan terbesar d dunia, dengan lebih dari tujuh belas ribu pulau teruntai di sepanjang teritori wilayahnya. Kemajemukan ini juga disertai dengan keragaman budaya dari masyarakatnya merupakan dampak yang ada dikarenakan sosio-kultural dari masyarakat Indonesa yang sangat heterogen. Seluruh keunikan ini telah menjadi objek kajian bagi para antropolog dan sosiolog selama puluhan tahun, diantaranya adalah seorang antropolog asal Amerika Serikat yang bernama Clifford Geertz.

Clifford Geertz adalah seorang antropolog terkenal yang melakukan penelitian lapangan di Jawa, Indonesia, selama tahun 1950-an. Dalam bukunya, "The Religion of Java," ia mengajukan gagasan konsep Tri Warna Sosial yang bertujuan untuk menjelaskan beragam orientasi agama dan budaya di masyarakat Jawa. Menurut Geertz, masyarakat Jawa dapat dibagi menjadi tiga kelompok utama berdasarkan pendekatan mereka terhadap agama dan tradisi , yaitu priyayi, abangan, dan santri.  

Tipologi yang dipaparkan oleh Geertz adalah gambaran umum dan sederhana, ia memberikan kerangka kerja yang berguna untuk memahami kerumitan masyarakat Indonesia. Dalam era globalisasi dan perubahan yang cepat, pemahaman tentang tipologi ini adalah kunci untuk mempertahankan identitas budaya dan agama yang unik sambil mempromosikan kerukunan sosial dan kemajuan.

Pertama,  Kelompok Abangan. Kelompok Abangan adalah kelompok yang menggabungkan unsur-unsur dari berbagai sistem kepercayaan, termasuk agama Hindu-Buddha dan Islam. Mereka dikenal karena toleransi keagamaan mereka dan cenderung memiliki praktik keagamaan yang lebih liberal dan beragam. Geertz menggambarkan Abangan sebagai kelompok yang lebih terbuka terhadap tradisi lokal dan agama-agama non-Islam.

Kedua, Kelompok Priyayi. Priyayi adalah golongan intelektual dan birokrat tradisional Jawa. Mereka sering memiliki latar belakang etnis Jawa dan memiliki hubungan erat dengan pemerintahan kolonial Belanda pada masa lalu. Priyayi adalah kelompok yang kuat dalam masyarakat dan memiliki pengaruh dalam pembuatan kebijakan. Mereka cenderung menerapkan Islam dengan lebih konservatif.

Ketiga, Kelompok Santri. Santri adalah kelompok yang menerima pendidikan agama Islam dalam pesantren atau lembaga pendidikan Islam tradisional. Mereka sangat taat pada Islam dan mengikuti pendidikan keagamaan secara ketat. Praktik keagamaan mereka cenderung lebih ortodoks.

Baca Juga Pentingya Ibadah dalam Praktik Keagamaan

Dalam konteks agama dan budaya, tipologi ini masih relevan. Meskipun masyarakat Indonesia semakin terpengaruh oleh modernisasi dan globalisasi, keragaman agama dan budaya tetap merupakan ciri khas. Kelompok Abangan cenderung memiliki praktik keagamaan yang lebih liberal dan terbuka terhadap pengaruh luar, sementara kelompok Santri lebih mementingkan praktik keagamaan yang ortodoks.

Di era kontemporer, berbagai partai politik dan gerakan sosial terus mewakili berbagai kelompok di masyarakat yang sesuai dengan tipologi ini. Partai-partai yang mewakili kelompok Santri sering berfokus pada isu-isu Islam dan pendidikan agama. Sementara itu, partai-partai yang cenderung mewakili kelompok Abangan dan Priyayi sering mempromosikan pluralisme agama dan nilai-nilai keberagaman.

Dalam politik Indonesia, kita masih dapat melihat pengaruh tipologi ini. Kelompok-kelompok seperti PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) dan PPP (Partai Persatuan Pembangunan) memiliki basis santri yang kuat dan memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam politik. Di sisi lain, ada partai-partai yang lebih cenderung mewakili kelompok-kelompok Abangan, yang mempromosikan keberagaman agama dan pluralisme. Banyak politisi dan pejabat pemerintah memiliki latar belakang Priyayi dan memainkan peran penting dalam pengambilan kebijakan. Ini mencerminkan warisan struktural sejarah kolonial Belanda di Indonesia.

Kebijakan sosial dan ekonomi juga harus mempertimbangkan aspek-aspek ini. Ini termasuk pemberdayaan masyarakat, bantuan sosial, dan dukungan bagi kelompok-kelompok yang mungkin lebih rentan dalam masyarakat. Memahami tipologi ini membantu dalam merancang program yang sesuai dengan nilai dan kepercayaan berbagai kelompok.

Pemahaman tentang tipologi ini juga bermanfaat dalam merancang kebijakan pendidikan dan sosial yang mempertimbangkan keragaman masyarakat yang seringkali mencerminkan dinamika antara kelompok Santri dan non-Santri. Pendidikan agama Islam yang ketat adalah bagian penting dari pengalaman banyak kelompok Santri. Di sisi lain, sekolah-sekolah umum sering mewakili pendekatan pendidikan yang lebih inklusif dan berfokus pada pendidikan tentang keanekaragaman.

Keanekaragaman budaya dan seni di Indonesia mencerminkan juga tipologi ini. Seni rupa, tari, musik, dan tradisi lokal mencerminkan pengaruh Hindu-Buddha, Islam, dan elemen-elemen lainnya. Seniman sering mencoba merangkum kekayaan budaya dan agama dalam karya seni mereka.

Pemahaman yang Geertz berikan dalam tipologi ini membantu kita memahami latar belakang budaya dan sejarah dari mana seni-seni ini muncul, seperti kesenian daerah, musik, dan tradisi lokal. Pengaruh Hindu-Buddha masih terlihat dalam banyak aspek budaya Jawa, sementara unsur Islam memengaruhi seni dan musik di wilayah-wilayah yang lebih konservatif.

Tipologi ini juga membantu kita memahami perbedaan dalam akses dan manfaat dari perkembangan ekonomi dan kebijakan sosial terkait isu- isu ketimpangan sosial yang signifikan. Kelompok-kelompok seperti Santri mungkin memiliki akses yang lebih baik ke pendidikan dan pekerjaan tertentu, sebagai contoh guru agama ataupun penceramah. Sedang, kelompok Abangan mungkin lebih rentan terhadap kemiskinan karena kurang terbentuknya orientasi sosial dan berkecimpungya kalangan ini dengan terlalu banyaknya kelompok sosial yang kurang berpengaruh.

Pemahaman tentang dinamika sosial ini penting untuk merancang kebijakan yang mempromosikan keadilan sosial dan mengurangi ketimpangan. Buku Geertz ini memberikan alternative pandangan tentang stereotipe dan generalisasi yang sering digunakan dalam mengkaji masyarakat Indonesia. Geertz menunjukkan bahwa tidak ada satu "tipe" masyarakat Indonesia, melainkan ada berbagai kelompok dengan pendekatan berbeda terhadap agama dan budaya. Mengingat, keragaman budaya harus dihargai dan dipahami dalam konteks yang lebih luas.

Sejak diterbitkannya buku ini pada tahun 1960, banyak perubahan sosial, ekonomi, dan politik telah terjadi di Indonesia. Buku tersebut berhasil menggambarkan perbedaan dalam pendekatan terhadap agama dan budaya di Indonesia dengan cara yang mudah dipahami sebagai metode untuk melakukan analisa dan studi sosial dan budaya di Indonesia, serta referensi utama dalam memahami keragaman masyarakat di wilayah tertentu di Indonesia. Oleh karena itu, ada kebutuhan untuk melihat kerangka pemahaman yang lebih modern untuk memahami masyarakat dan agama di Indonesia saat ini.

Walau beberapa kritik muncul sebagai topik perdebatan, yang muncul akibat populernya buku ini d kalangan intelektual dan para peneliti sosial. Diantaranya, anggapan bahwa pandangan Geertz terlalu menyederhanakan kerumitan yang sebenarnya di dalam masyarakat. Selain itu, buku ini kadang-kadang terlalu terpusat pada masyarakat Jawa, sehingga mungkin tidak sepenuhnya mencerminkan keragaman budaya di seluruh Indonesia.

Dinamika antara kelompok-kelompok ini masih memengaruhi politik, agama, dan budaya di Indonesia saat ini. Indonesia adalah negara yang kaya akan keragaman budaya dan agama. Indonesia adalah negara yang kaya akan keanekaragaman budaya, etnis, dan agama. Buku "The Religion of Java" adalah alat berharga dalam memahami masyarakat Indonesia untuk memahami kerumitan sosio-kultural dari budaya masyarakat Indonesia dan dapat memberikan kontribusi lebih pada upaya untuk mempromosikan pluralisme, toleransi, dan keadilan sosial di Indonesia.

Keragaman etnis, agama, dan budaya yang unik di negara ini adalah salah satu sumber kekuatan, tetapi juga potensi konflik. Masyarakat Indonesia sangat beragam, dan banyak orang menggabungkan unsur-unsur dari berbagai kelompok. Tipologi Abangan, Priyayi, dan Santri dapat digunakan sebagai kerangka untuk memahami dinamika sosial dan politik.

Relevansi tipologi ini juga dapat dilihat dalam upaya untuk mempromosikan toleransi dan dialog antaragama. Meskipun ada perbedaan dalam pendekatan keagamaan antara kelompok Abangan, Priyayi, dan Santri, ada potensi untuk saling memahami dan berbicara satu sama lain. Ini penting dalam menjaga kerukunan sosial dan mencegah konflik agama.

Memahami cara tipologi ini berinteraksi dengan pandangan dunia generasi muda dan bagaimana generasi ini dapat membentuk masa depan masyarakat Indonesia adalah hal yang penting. Generasi muda Indonesia juga memainkan peran penting dalam menggambarkan dan mengubah dinamika tipologi ini. Pemuda sering memiliki pandangan yang lebih terbuka terhadap keberagaman dan lebih terhubung dengan tren global dan potensi untuk mempromosikan perdamaian dan toleransi dalam masyarakat. Perlunya kita untuk mendefinisikan ulang identitas dan nilai-nilai budaya baru di Indonesia dalam pandangan sosial ataupun antropologis.

Dalam situasi ekonomi dan politik yang terus berubah di Indonesia, pemahaman tentang tipologi ini dapat membantu pemimpin politik dan masyarakat dalam mengambil kebijakan yang mempromosikan inklusivitas dan keadilan. Ini juga dapat digunakan untuk merancang pendekatan pendidikan yang lebih baik yang menghormati dan memahami keragaman budaya dan keagamaan di Indonesia.

Meskipun telah berlalu beberapa dekade, tipologi ini masih sangat relevan dalam menganalisis politik, budaya, dan masyarakat Indonesia saat ini. Walau banyak aspek masyarakat  telah berubah sejak tipologi ini diperkenalkan, dasar-dasar kelompok Abangan, Priyayi, dan Santri tetap memberikan gambaran peran penting dalam membentuk identitas dan dinamika masyarakat Indonesia.