Dukung Kreator Sumber Daya Pikiran

Situs dalam Proses Pemulihan!

Cari Artikel

Malam, Alun-Alun Pamulang dan Puisi-Puisi Lainnya

Ilustrasi - trehugger.com

Malam, Alun-Alun Pamulang


sayangKu.

setelah malam rebah

suara kaki lima kalah

karena segala perbincangan

selalu melahirkan wajah yang duka

rencana-rencana bertengkar

dalam mitos dan ambisi yang hambar.


di sepanjang trotoar dan di seberangnya

Tugu baru menyala, 

di sini, di Pamulang yang ramai 

dan sangsi

wajah-wajah gemetar

kehidupan samar-samar.

ah, buset, sayangKu!

dari suara-suara yang membludak 

keterasinganku semakin galak.

maka, keramaian, kemacetan,

kemajuan yang hampa, dan

sampah yang tak ada habisnya

menjerat emosi jiwa –sia-sia!


sayangKu.

walau perjalanan dunia begitu cepat

dan para pemberontak punya tekad bulat

kita tetap sama

walau memakai wajah baru

dan ketertinggalan demi ketertinggalan

dan kemajuan, dan kebingungan 

tak menghasilkan apa-apa

selain dosa, payah, dan celaka.


sayangKu.

setelah bulan telanjang

birahi melahirkan pemberontakan

dan keterasinganku tak terelakkan.

astaga! wajah kita bimbang

walau telah menghambur-hamburkan doa

kita tetap sebatangkara, dan dibayangi dosa

kehidupan nelangsa, dan kelahiran

dari hari baru tak ada bedanya.

sayangKu, malam di sini tetap sama

walau polusi jahat menakuti kita

dan orang-orang miskin tetap kalah

dan orang-orang kalah tetap sengsara

dan sebagian anak muda

menyesali kelahiran hidupnya

mereka berontak tapi kalah

mereka melawan tapi percuma

mereka berpolitik tapi sia-sia

mereka pulang ke rumah

tapi semakin sengsara

mereka saling percaya tapi saling curiga.


sayangKu

langit hitam dan udara sangar

tapi bolehkah kugerayangi 

jiwamu dengan liar?

setelah malam rebah

dan Pamulang hanya sisa-sisa 

Tuhan menyelimuti tangis kita

Tuhan menjelma sedih dan derita

dan kepasrahan yang angkuh

tertunda dalam nelangsa yang resah.

tapi, bagaimana menghindari kenyataan?

astaga! itu masalah bersama

itu yang harus dipikirkan bersama

dan kematian?

bukankah Tuhan

menyediakan sorga?

tapi, penerimaan seperti apa

yang musti kita percaya?


ah... sayangKu.

apakah malam dan Pamulang

mengerti maksud kita?

hai, sayangKu

dengarlah: kibarkan nafsu

agar hidup tak melulu begitu 

walau hidup memang begitu

dan agar hidup tak melulu rutinitas

tapi juga birahi yang bebas-tak terbatas

astaga! apakah itu tidak sia-sia?

dan dengan cara apa mereka

mengerti kita?


malam kalang-kabut

dari suara vespa yang ngebut

dan siluet Tugu baru hampa

menyoroti keasingan wajah kita.

tapi, sayangKu...

masih pantaskah kuucapkan cinta?

bila prestasi budaya

kemurnian mantra

selalu mengudara

kabur-lepas dari jangkauan hidup kita!


Pamulang, 2023


Purnama, Jalan Pahlawan


hai, dik.

mari ingat kembali rumah suka

yang kini musnah karena suatu apa.

jangan kauingat yang lainnya

ingatlah, pohon teduh

ketika aku memelukmu

dan angin mengaliri cinta kita.


sial. memang sial nasib kita.

aku tidak lulus sekolah

dan bapakmu kurang suka.

dan hari-hari yang lalu

mengalir bagai lautan arak

karena semakin membuat kau,

membuat kita berjarak.

dan kini, kuingat lagi

wajahmu di balik purnama.

walau agak beda, tapi senyumnya bergairah.


di sepanjang trotoar dan

berjejer ruko makanan

senyum birahi memesona

tapi sebab apa keadaan gampang berubah?

aku benci wajah baru

karena tak kukenali bau rambutmu

tak kukenali tubuh molekmu

tak kulihat lagi kebon milik bapakmu

kambing jantan, pohon rambutan

anak-anak ingusan, dan gincu merah mudamu.


kautahu, dik?

mengenang engkau

adalah mengenang budaya.

ketika lelaki lain menggoda

aku tak terima dan berani berkata:

daging ini milik kita!

tapi, dia, bukan sekadar benda

coba maju kalau berani

kita ogah seri, apalagi kalah!

ha-ha-ha. itu lucu, dik.

aku terkenang dan terkesima.

lalu, babamu keluar dan marah

ia tunjuk semua pakai senjata

matanya merah dan ia berkata:

astaga! bocah kemaren sore

pada balik semua. kagak ada

cinta-cintaan. gadis perawan

bukan barang jualan.


hai, dik.

cinta melahirkan kenangan

dan nyatanya itu yang berkesan.

meski aku tak dapati dirimu

dan tak kukenali wajah masyarakatmu

dalam pantulan purnama itu.


hai, dik.

hari berganti semaunya

tapi apakah kenangan juga musnah?

sambil kususuri jejakmu

kunikmati hiburan murahan

dan aku terkenang oleh kakakMu

yang berkisah semalaman tak kenal waktu.

(+) apa kutahu, Rempoa? ini pinggiran Jakarta

tapi kita orang Betawi, dan

orang menganggap

kita malas dan ceroboh

atau gampang jual tanah

untuk kehidupan yang melulu susah.

(-) aku tahu ini Jakarta. Dan, semua orang

Indonesia migrasi ke Jakarta.

(+) meski kautahu beberapa. 

tapi, belum tentu kaudapati adikku jadi milikmu.

karena budaya cinta tak sama

dengan istilah cinta

dan perihal itu, hasilnya beda-beda.

(-) aku tahu itu bukan masalah

dan aku hanya punya pasrah.


hai, dik.

purnama berganti wajah

dan kenanganmu samar-samar menyala

tapi adat yang serakah

dan budaya manusia selalu berubah

selalu menyiksa kenangan

selalu menakuti masa depan.

astaga! purnama menyelinap dalam tradisi pencak silat

dan rinduku padamu terlelap, sesat!


hai, dik.

mari ingat kembali rumah suka

yang kini musnah karena suatu apa.

dulu, auranya

namanya, hidupnya...

astaga... jangan sebut itu...

sudah biarlah semua menyatu

dan biarlah masyarakatmu tak yakin itu

karena, sebentar lagi

sesaat lagi

sisa-sisa itu mati

dan kau dan aku abadi

—walau hanya dalam puisi.


Rempoa, 2022


Kasidah Anggur dan Rembulan

—akibat “Si burung merak”


Haruskah kutulis puisi

sambil menenggak anggur

dan menyembah bulan?

setelah itu, haruskah aku

berpesta sunyi-sepi sampai mati

dan mabuk nyanyian kehidupan?

sebab, begitulah kunci legenda

dari para penyair memberi jawaban.

dan haruskah aku telusuri jiwanya?

dan musim semi yang hampa

dan dari seorang penyair tua

yang diledek penyair muda

terbentang pertarungan catur

di bawah bintang-bintang.

tapi apakah begitu?

anggur dan rembulan!


haruskah kupelajari metafora

dari penyair cinta

untuk kuberikan pada perempuan?

dan kupelajari estetika

untuk kutuliskan kemurnian perempuan 

serta kupelajari mantra dan teori

dari akademisi

untuk kuikutsertakan di sayembara

hati perempuan?

tapi apakah begitu?

Anggur dan rembulan!


haruskah kudalami ruh-ruh

kehidupan dari keseharian

penyair gedean?

haruskah kubangun kembali

puing-puing makna dalam bahasa

untuk melahirkan puisi yang mati?

ah... apa aku bisa menuliskan

dan mengerti semua ini?

meskipun kamus dan rujukan

telah kubaca

tapi bagaimana menghidupkan

puisi yang mati?

bagaimana ia dilahirkan kembali?

bagaimana, hendaknya aku

menulis kiasan, kenangan,

menuliskan perempuan 

dan semuanya itu?


Haruskah kutulis

puisi berbahan anggur

dan rembulan?

agar lahirlah bayi puisi abadi

dan di atas permukaan dunia

ia lihai menari, dan punya eksistensi 

dan tidak bersembunyi, serta

mengembara di seluruh keadaan!

tapi apakah begitu?

anggur dan rembulan!


Ciputat, 2023


Ciputat, Pasar Malam


dalam huru-hara pasar malam

hatiku telanjang di tengah suara

di malam yang ramai itu

dengan kegembiraan gaji pas-pasan

berwarnalah wajah oleh kelap-kelip lampu

sambil menggerutu:

aku akan rebahkan jiwaku sementara

untuk kucuri kegembiraan orang gedean

yang berlibur tiap akhir pekan

—dan aku pilih tempat ini

sebagai hiburan sebelum mati.

dari udara yang busuk ini

kuteduhkan kebosanan

dan suara anak-anak membuatku tersenyum

ah... mereka suka uang buat beli manisan.


dalam huru-hara pasar malam

udara ramai saling tertawa

karena semua berwarna

semua suka musik yang diputar asal-asalan

semua suka belanja baju dan makanan

ah... semua suka menghamburkan uang

akhirnya aku sangsi sendiri

di tengah pesta yang kurayakan sendiri 

senyum itu hanya basa-basi

kesenangan basa-basi

keramaian ini malahan makin sepi

dan dalam kegelisahan, suara

dari tenggara menyapaku:

apakah ini hiburan? apakah ini alternatif?

apakah ini kegembiraan? apakah ini pesta?


dalam huru-hara pasar malam

hatiku gersang di belantara bising

yang angkuh, bising yang celaka.


Ciputat, 2022


Setu Gintung, Minggu Pagi


matahari di minggu pagi

tertawa, dan ratu buaya

menganga menghadap utara

o, berhamburan rambut hitam

para perawan


di pintu air, di bawahnya

tugu peringatan, aku lihat

air lewat dari menit yang hampa

o, berirama suara kaki

pejalan kaki


matahari di minggu pagi

menyoroti 

dua tiga pohonan 

berjejeran ia menghadap Setu

semacam kiblat dosa yang padu

dan batu-batuan nyaring suaranya

daun-daun normal bentuknya

o, abad baru berlangsung.


matahari di minggu pagi

telanjang di sekitar air Setu

orang-orang gembira

anak-anak membeli permen

dan sepasang pasutri hemat uang bulanan


menatap Setu Gintung

adalah menatap kemungkinan

o, mungkin selamat

mungkin kiamat

tapi, abad baru amatlah sesak


ha-ha-ha. Setu Gintung gembira

tubuhnya telanjang

dan dalam riuh, riak airnya

menyadari kesendirian.


Ciputat, 2022

Cerita Pendek: Awalan

Ilustrasi - Affandi Painting - Lima Bunga Matahari

: Man is not what he thinks he is, he is what he hides--André Gide

Apa yang paling membosankan adalah mengatakan bahwa siang yang tampak hari ini; siang yang hanya menampilkan kerusakan dari terik matahari jauh ke kulit tubuh menjadi beberapa fragmentasi tak terpahami. Ingat, ya, ingatlah. Langit, matahari, kamar, manusia, rumah, serta seisi siang yang aneh ini terlihat nyala mentereng di kaki para manusia yang muram berjalan kaki, memaki dirinya sendiri, dan berkata, “mengapa perasaan manusia gampang berganti?” Itu semacam protes yang tergesa-gesa. Di lain sisi, sebagian manusia yang berjalan itu berupaya menghadirkan arwah masa kecilnya, semacam alternatif guna menganggap bahwa ini semacam jenis permainan yang sebenarnya mengasyikkan --meski sulit diselesaikan. Sungguh samar menangkap pesan penting di setiap kejadian siang ini. Apalagi, ketika siang yang aneh ini memproduksi perasaan yang mengarah kepada putus asa yang wajar, semacam kejenuhan akan fragmentasi yang tak terhingga jumlah kekalahannya.

Lalu, aku yakin dengan pasti, di suatu hari semua orang akan meninggalkanku,  dan pergi menjauh, semua terjadi secara wajar-wajar saja--alamiah. Aku tahu, manusia punya hak melakukan itu semua. Meskipun aku sendiri ragu bisa melakukan demikian. Ya, aku telah hidup hampir selama dua puluhan tahun di kewajaran yang tak wajar, tapi tak sedikitpun kupahami itu semua—bahkan soal diriku sendiri, dan beberapa hal-hal yang sering aku lupa. Apa pentingnya mengenal mengerti itu semua ? Apa ketika aku mengerti semua itu, sebagaimana seharusnya hal itu terjadi sebagai manusia yang utuh, akan kudapatkan suatu yang lain dari kenyamanan? Aku rasa itu sama sekali tak ada artinya. Dan, ketika mengenal banyak dari kewajaran itu, apakah ia akan memaklumi bentuk keanehan yang tak kumengerti? Meskipun, jujur saja, aku takut untuk tidak mengerti itu semua, apalagi seminggu yang lalu aku serang pertanyaan seperti “mengapa ini harus jadi rutinitas?”; “mengapa aku harus mewarjarkan ini?”: “mengapa tak ada satu kegiatan yang tidak membosankan selain rutinitas ini semua?”; dan pertanyaan yang jenisnya hampir sama. Sejak saat itu aku merasa aku malu dan takut, dan tak tahu apa yang mesti kulakukan terhadap semua ini? Lalu, ketika menyusuri jalan ramai, melihat berjejer kendaraan dan lampu-lampu, orang-orang sibuk, kota sibuk, parahnya tak ada yang kukenal wajah yang tersenyum padaku, dan tak tahu harus melakukan apa terjadi. Orang-orang itu, agaknya juga tidak mengenalku—bahkan kukira menganggap semua ini sebagai satu kesamaan yang persis kupikirkan. Walau aku kenal sedikit dari mereka—maksudku mengenal mereka dari wajah yang hampir sama kulihat ketika aku berbicara di depan cermin—,tapi, itu malah membuatku tak mengenal apa-apa, bahkan diriku sendiri ketika aku berbicara dengan diriku semi. Jujur, aku gembira ketika tak ada yang mengenalku, dan apakah harus sedih semua ini harus terjadi? Ah... iya, aku nyaris menjalin suatu persahabatan dengan perempuan yang kukenal, tapi aku lupa namanya. Aku kira itu hari yang terasa punya kesan bahagia, pada jam-jam sibuk kami selayaknya tembok yang bertatapan dengan wajah gembira; kami akan berbisik kepada diri sendiri bahwa kami saling mengenal, sementara itu semua cepat terlupakan, dan hari-hari itu menghilang perlahan. Kami saling menunjukkan minat yang hangat terhadap kebahagiaan via wajah kami. Tapi, suatu ketakberuntungan di waktu itu kami tidak berada di tempat yang biasanya harus saling bertemu, aku yakin hal demikian  adalah suatu bentuk dari kekecewaan. Begitulah, kami nyaris selalu menatap mata untuk menghadiri aura satu sama lain, lebih-lebih ketika kami sedang dalam suasana yang gembira. Hari itu, ketika perjumpaan hampir tidak dilakukan beberapa hari, kami betul-betul akan menghadirkan kekecewaan terpendam dalam dunia kami masing-masing, lalu, ketika kami akan saling berpapasan berpandangan  kekecewaan memancarkan tugasnya dengan baik dan benar.

Selain itu, di lain hal, aku gampang lupa mengenali rumah orang-orang di sekitarku. Menurutku berjalan sambil mengingat hal demikian adalah bentuk kebodohan, lebih-lebih aku merasa rumah itu tampak meledek diriku dengan kebekuan yang sombong, dan seakan-akan benda itu selalu berkata: bagaimana dengan dirimu? apakah kamu sudah tidak sendirian? Lihat! aku yakin kamu pasti kesepian, wahai manusia. Meski begitu, aku selalu nyaman berada di jalan itu, di antara tertawaan benda itu, beberapa dari benda itu baik kepadaku; di antara salah satu, ia selalu menyapaku dengan senyum yang ramah nan menenangkan, meskipun aku sadar itu tak mungkin mengubah apa-apa. Di setiap pagi dengan waktu yang cepat aku berjalan, mereka--rumah-rumah itu--semacam melototiku guna memastikan itu benar-benar aku. Lebih-lebih bila berjalan lamban, mereka marah dan membentakku laik seorang kapten awak kapal yang mabuk alkohol sambil berkata: cepat! Tugasmu belum selesai. Segalanya—semua yang terucap dan gerak-gerik ketaksukaan rumah itu terhadapku—aku terima, bagiku itu semacam teman kecil yang luar biasa untuk menemani diriku, atau hal-hal lain soal perasaan yang tak terjelaskan sebagai wujud dari semua ini. Aku ingat, dari semua rumah yang mengejekku, aku suka salah rumah yang ramah itu. Hal sederhana yang bisa kukatakan karena rumah ia memiliki warna merah dengan bangunan yang lumayan tertiba, luas yang tak seberapa dan panjang yang cukup untuk mewadahi satu keluarga. Ya, hanya sekadar itu, aku merasa gairah dari pancaran rumah itu mengembalikan suatu yang hilang padaku—mudah-mudah ini bukan semacam akal-akalan belaka, tapi suatu kebenaran dan aku tak pernah bohong--untuk berbohong? Selain itu, ia--si Rumah--tampak selalu diintimidasi oleh rumah-rumah yang berjejer di sebelahnya, semacam isyarat bahwa rumah itu adalah gambaran pemberontak dari bentuk kejujuran yang alamiah dalam diriku— aku tahu si pemilik rumah itu tak memiliki niat demikian atau hal-hal yang berkaitan dengan itu.

Pelan-pelan, dengan memperhatikan detail siang ini, agaknya sekarang aku mulai mengerti mengapa aku harus melakoni ini semua? Hal yang akan kukatakan bahwa kini perasaanku tak berbentuk sebagai kebahagiaan atau duka, barangkali ini semacam campuran dari keduanya. Kemudian, perasaan semacam ini sedikit lagi akan membuatku nyaman—setidaknya itu sebagai pilihan terakhir dan aku tak menyesalinya. Karena, bilamana aku berada di jalanan melihat orang, rumah dan semuanya di siang itu, aku merasa segalanya pasti akan bersatu dengan bentuk kesunyian, tapi apakah yang lainnya merasakannya? Lebih-lebih, ketika berada di kamarku, suasana kesunyian—jelasnya perasaan tak terjelaskan itu makin membuatku bingung sendiri dengan memikirkan apa yang salah dengan duniaku, dengan diriku, dan mengapa aku merasa begitu tidak nyaman dalam keadaan seperti ini? Lebih-lebih kebingunganku tampak seperti gambar di dinding-dinding ruangan yang berwarna hitam pekat dengan percikan merah jambu, dengan corak langit yang tertutup, suatu aura yang berhasil menggairahkan diriku untuk terus mempertahankan ini semua, semacam upaya memeriksa setiap keindahan lengkung perabotan, dan, pertanyaan terkait yang terselubung di balik makna yang jelimet-tak terpahami oleh entitas kenyataan hari ini. Di lain hal—di kamar siang ini— dengan menatap kebisuan benda-benda yang tampak sia-sia, aku tak sedikit pun percaya bahwa aku bisa menerima ini semua. Atau bahkan, menyuruh pikiran untuk mengubah segala perspektif keputusasaan menjadi satu hal yang lebih baik dari hal-hal yang telah menelan diriku saat ini. Walau, pada kenyataannya, aku selalu memantau kemalangan diriku dari balik cermin, tak ada suatu keberhasilan, dan keberanian untuk melakukan hal-hal demikian. Dengan demikian, aku merasa—dan dengan perasaan yang sulit tapi dinamis—bahwa ada suatu hal mengubah perlahan dari kamar ini, walau aku sendiri tak yakin bahwa itu bentuk dari upaya yang sungguh-sungguh!

Terakhir, sesungguhnya apa yang paling membuatku kesal adalah mengawali yang tampak hari ini, di kamar ini, dengan suatu yang akan mengubah fragmentasi-persepektif dari hal-hal yang lain menjadi suatu kebaruan yang terlalu tergesa-gesa! Ya, aku rasa, semua mengalir efektif-dinamis, segalanya harus kujalani pelan-pelan—meskipun tak kusukai dan pahami—guna mengawali segala kejadian tak masuk lainnya di siang selanjutnya.

Mengkaji Ulang Indonesia Berdasarkan Tipologi Masyarakat ala Clifford Geertz


Sumber Daya Pikiran - Indonesia adalah salah satu negara kepulauan terbesar d dunia, dengan lebih dari tujuh belas ribu pulau teruntai di sepanjang teritori wilayahnya. Kemajemukan ini juga disertai dengan keragaman budaya dari masyarakatnya merupakan dampak yang ada dikarenakan sosio-kultural dari masyarakat Indonesa yang sangat heterogen. Seluruh keunikan ini telah menjadi objek kajian bagi para antropolog dan sosiolog selama puluhan tahun, diantaranya adalah seorang antropolog asal Amerika Serikat yang bernama Clifford Geertz.

Clifford Geertz adalah seorang antropolog terkenal yang melakukan penelitian lapangan di Jawa, Indonesia, selama tahun 1950-an. Dalam bukunya, "The Religion of Java," ia mengajukan gagasan konsep Tri Warna Sosial yang bertujuan untuk menjelaskan beragam orientasi agama dan budaya di masyarakat Jawa. Menurut Geertz, masyarakat Jawa dapat dibagi menjadi tiga kelompok utama berdasarkan pendekatan mereka terhadap agama dan tradisi , yaitu priyayi, abangan, dan santri.  

Tipologi yang dipaparkan oleh Geertz adalah gambaran umum dan sederhana, ia memberikan kerangka kerja yang berguna untuk memahami kerumitan masyarakat Indonesia. Dalam era globalisasi dan perubahan yang cepat, pemahaman tentang tipologi ini adalah kunci untuk mempertahankan identitas budaya dan agama yang unik sambil mempromosikan kerukunan sosial dan kemajuan.

Pertama,  Kelompok Abangan. Kelompok Abangan adalah kelompok yang menggabungkan unsur-unsur dari berbagai sistem kepercayaan, termasuk agama Hindu-Buddha dan Islam. Mereka dikenal karena toleransi keagamaan mereka dan cenderung memiliki praktik keagamaan yang lebih liberal dan beragam. Geertz menggambarkan Abangan sebagai kelompok yang lebih terbuka terhadap tradisi lokal dan agama-agama non-Islam.

Kedua, Kelompok Priyayi. Priyayi adalah golongan intelektual dan birokrat tradisional Jawa. Mereka sering memiliki latar belakang etnis Jawa dan memiliki hubungan erat dengan pemerintahan kolonial Belanda pada masa lalu. Priyayi adalah kelompok yang kuat dalam masyarakat dan memiliki pengaruh dalam pembuatan kebijakan. Mereka cenderung menerapkan Islam dengan lebih konservatif.

Ketiga, Kelompok Santri. Santri adalah kelompok yang menerima pendidikan agama Islam dalam pesantren atau lembaga pendidikan Islam tradisional. Mereka sangat taat pada Islam dan mengikuti pendidikan keagamaan secara ketat. Praktik keagamaan mereka cenderung lebih ortodoks.

Baca Juga Pentingya Ibadah dalam Praktik Keagamaan

Dalam konteks agama dan budaya, tipologi ini masih relevan. Meskipun masyarakat Indonesia semakin terpengaruh oleh modernisasi dan globalisasi, keragaman agama dan budaya tetap merupakan ciri khas. Kelompok Abangan cenderung memiliki praktik keagamaan yang lebih liberal dan terbuka terhadap pengaruh luar, sementara kelompok Santri lebih mementingkan praktik keagamaan yang ortodoks.

Di era kontemporer, berbagai partai politik dan gerakan sosial terus mewakili berbagai kelompok di masyarakat yang sesuai dengan tipologi ini. Partai-partai yang mewakili kelompok Santri sering berfokus pada isu-isu Islam dan pendidikan agama. Sementara itu, partai-partai yang cenderung mewakili kelompok Abangan dan Priyayi sering mempromosikan pluralisme agama dan nilai-nilai keberagaman.

Dalam politik Indonesia, kita masih dapat melihat pengaruh tipologi ini. Kelompok-kelompok seperti PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) dan PPP (Partai Persatuan Pembangunan) memiliki basis santri yang kuat dan memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam politik. Di sisi lain, ada partai-partai yang lebih cenderung mewakili kelompok-kelompok Abangan, yang mempromosikan keberagaman agama dan pluralisme. Banyak politisi dan pejabat pemerintah memiliki latar belakang Priyayi dan memainkan peran penting dalam pengambilan kebijakan. Ini mencerminkan warisan struktural sejarah kolonial Belanda di Indonesia.

Kebijakan sosial dan ekonomi juga harus mempertimbangkan aspek-aspek ini. Ini termasuk pemberdayaan masyarakat, bantuan sosial, dan dukungan bagi kelompok-kelompok yang mungkin lebih rentan dalam masyarakat. Memahami tipologi ini membantu dalam merancang program yang sesuai dengan nilai dan kepercayaan berbagai kelompok.

Pemahaman tentang tipologi ini juga bermanfaat dalam merancang kebijakan pendidikan dan sosial yang mempertimbangkan keragaman masyarakat yang seringkali mencerminkan dinamika antara kelompok Santri dan non-Santri. Pendidikan agama Islam yang ketat adalah bagian penting dari pengalaman banyak kelompok Santri. Di sisi lain, sekolah-sekolah umum sering mewakili pendekatan pendidikan yang lebih inklusif dan berfokus pada pendidikan tentang keanekaragaman.

Keanekaragaman budaya dan seni di Indonesia mencerminkan juga tipologi ini. Seni rupa, tari, musik, dan tradisi lokal mencerminkan pengaruh Hindu-Buddha, Islam, dan elemen-elemen lainnya. Seniman sering mencoba merangkum kekayaan budaya dan agama dalam karya seni mereka.

Pemahaman yang Geertz berikan dalam tipologi ini membantu kita memahami latar belakang budaya dan sejarah dari mana seni-seni ini muncul, seperti kesenian daerah, musik, dan tradisi lokal. Pengaruh Hindu-Buddha masih terlihat dalam banyak aspek budaya Jawa, sementara unsur Islam memengaruhi seni dan musik di wilayah-wilayah yang lebih konservatif.

Tipologi ini juga membantu kita memahami perbedaan dalam akses dan manfaat dari perkembangan ekonomi dan kebijakan sosial terkait isu- isu ketimpangan sosial yang signifikan. Kelompok-kelompok seperti Santri mungkin memiliki akses yang lebih baik ke pendidikan dan pekerjaan tertentu, sebagai contoh guru agama ataupun penceramah. Sedang, kelompok Abangan mungkin lebih rentan terhadap kemiskinan karena kurang terbentuknya orientasi sosial dan berkecimpungya kalangan ini dengan terlalu banyaknya kelompok sosial yang kurang berpengaruh.

Pemahaman tentang dinamika sosial ini penting untuk merancang kebijakan yang mempromosikan keadilan sosial dan mengurangi ketimpangan. Buku Geertz ini memberikan alternative pandangan tentang stereotipe dan generalisasi yang sering digunakan dalam mengkaji masyarakat Indonesia. Geertz menunjukkan bahwa tidak ada satu "tipe" masyarakat Indonesia, melainkan ada berbagai kelompok dengan pendekatan berbeda terhadap agama dan budaya. Mengingat, keragaman budaya harus dihargai dan dipahami dalam konteks yang lebih luas.

Sejak diterbitkannya buku ini pada tahun 1960, banyak perubahan sosial, ekonomi, dan politik telah terjadi di Indonesia. Buku tersebut berhasil menggambarkan perbedaan dalam pendekatan terhadap agama dan budaya di Indonesia dengan cara yang mudah dipahami sebagai metode untuk melakukan analisa dan studi sosial dan budaya di Indonesia, serta referensi utama dalam memahami keragaman masyarakat di wilayah tertentu di Indonesia. Oleh karena itu, ada kebutuhan untuk melihat kerangka pemahaman yang lebih modern untuk memahami masyarakat dan agama di Indonesia saat ini.

Walau beberapa kritik muncul sebagai topik perdebatan, yang muncul akibat populernya buku ini d kalangan intelektual dan para peneliti sosial. Diantaranya, anggapan bahwa pandangan Geertz terlalu menyederhanakan kerumitan yang sebenarnya di dalam masyarakat. Selain itu, buku ini kadang-kadang terlalu terpusat pada masyarakat Jawa, sehingga mungkin tidak sepenuhnya mencerminkan keragaman budaya di seluruh Indonesia.

Dinamika antara kelompok-kelompok ini masih memengaruhi politik, agama, dan budaya di Indonesia saat ini. Indonesia adalah negara yang kaya akan keragaman budaya dan agama. Indonesia adalah negara yang kaya akan keanekaragaman budaya, etnis, dan agama. Buku "The Religion of Java" adalah alat berharga dalam memahami masyarakat Indonesia untuk memahami kerumitan sosio-kultural dari budaya masyarakat Indonesia dan dapat memberikan kontribusi lebih pada upaya untuk mempromosikan pluralisme, toleransi, dan keadilan sosial di Indonesia.

Keragaman etnis, agama, dan budaya yang unik di negara ini adalah salah satu sumber kekuatan, tetapi juga potensi konflik. Masyarakat Indonesia sangat beragam, dan banyak orang menggabungkan unsur-unsur dari berbagai kelompok. Tipologi Abangan, Priyayi, dan Santri dapat digunakan sebagai kerangka untuk memahami dinamika sosial dan politik.

Relevansi tipologi ini juga dapat dilihat dalam upaya untuk mempromosikan toleransi dan dialog antaragama. Meskipun ada perbedaan dalam pendekatan keagamaan antara kelompok Abangan, Priyayi, dan Santri, ada potensi untuk saling memahami dan berbicara satu sama lain. Ini penting dalam menjaga kerukunan sosial dan mencegah konflik agama.

Memahami cara tipologi ini berinteraksi dengan pandangan dunia generasi muda dan bagaimana generasi ini dapat membentuk masa depan masyarakat Indonesia adalah hal yang penting. Generasi muda Indonesia juga memainkan peran penting dalam menggambarkan dan mengubah dinamika tipologi ini. Pemuda sering memiliki pandangan yang lebih terbuka terhadap keberagaman dan lebih terhubung dengan tren global dan potensi untuk mempromosikan perdamaian dan toleransi dalam masyarakat. Perlunya kita untuk mendefinisikan ulang identitas dan nilai-nilai budaya baru di Indonesia dalam pandangan sosial ataupun antropologis.

Dalam situasi ekonomi dan politik yang terus berubah di Indonesia, pemahaman tentang tipologi ini dapat membantu pemimpin politik dan masyarakat dalam mengambil kebijakan yang mempromosikan inklusivitas dan keadilan. Ini juga dapat digunakan untuk merancang pendekatan pendidikan yang lebih baik yang menghormati dan memahami keragaman budaya dan keagamaan di Indonesia.

Meskipun telah berlalu beberapa dekade, tipologi ini masih sangat relevan dalam menganalisis politik, budaya, dan masyarakat Indonesia saat ini. Walau banyak aspek masyarakat  telah berubah sejak tipologi ini diperkenalkan, dasar-dasar kelompok Abangan, Priyayi, dan Santri tetap memberikan gambaran peran penting dalam membentuk identitas dan dinamika masyarakat Indonesia.

Ironi Dunia Pendidikan Indonesia: Defleksi Terminologi Kritik Imbas dari Ketakutan

Foto Oleh Sindo/Yulianto 

"Kritik adalah sesuatu yang mudah dihindari dengan tidak mengatakan apa-apa, tidak melakukan apa-apa dan tidak menjadi apa-apa.". (Aristoteles)

Sumber Daya Pikiran - Kritik adalah hal yang (mungkin) sering kita dapatkan maupun kita lakukan, budaya kita mengajarkan bahwa jika kita sedang dikritisi, maka kita harus melakukan introspeksi. Seperti kata Carol Dweck seorang Profesor Psikologi di Stanford bahwa salah satu tanda berkembangnya manusia adalah menerima kritik dari sesamanya. Pun jika kita melihat ada kejanggalan, tentu sudah sewajarnya kita akan memberi kritikan. Namun ada dilema yang sering kita temui ketika kita mengkritisi, yakni memberi solusi, tak sedikit orang yang ketika diberi kritik mereka juga meminta solusi. Pertanyaannya, apakah mengkritisi harus memberikan solusi? Hal inilah yang akan kita bahas di sini.

Memberi dan Menerima Kritikan Adalah Pembangunan Atas Peradaban Manusia

Sebelum memasuki topik utama, marilah kita menelaah fenomena kritik-mengkritik sekaligus perannya dalam sejarah manusia. Thomas Kuhn, seorang Fisikawan Amerika dalam bukunya 'The Structure of Sciencetifik Revolution' menjelaskan bagaimana peradaban dibentuk oleh pergantian paradigma dalam sejarah pengetahuan.

Penjelasan Kuhn ini memberikan pandangan pada kita, bahwa peradaban manusia berkembang karena pergantian pandangan akan dunia. Pandangan dunia sendiri berubah karena ada kritik-mengkritik di dalamnya, sesuai kata Popper bahwa pandangan yang mapan akan runtuh apabila ditemukan kerancuannya.

Semisal, dulu manusia berpandangan bahwa bumi adalah pusat alam semesta, lalu pandangan tersebut dikritik oleh Nicolaus Copernicus dalam teorinya 'heliosentrisme' yang menyebutkan bahwa matahari lah pusat alam semesta, peristiwa ini disebut sebagai revolusi copernikan.

Revolusi copernikan menyebabkan bergantinya pandangan umat manusia akan pusat alam semesta, karena penjelasan Copernicus lebih kuat justifikasinya, pergantian pandangan ini yang kemudian manusia dapat lebih memahami dunia.

Telah kita lihat bagaimana kritik membangun peradaban manusia, yang contoh kasusnya adalah revolusi copernikan. Namun perlu dicatat bahwa revolusi copernikan adalah contoh kritik dalam konteks pengetahuan, yang tentu akan berbeda dengan kritik dalam konteks peraturan, mari kita lihat perbedaannya :

  1. Kritik Pengetahuan: Upaya tuk membongkar pandangan atas dunia, yang cenderung menggunakan justifikasi logis-empiris atau justifikasi rasional (cenderung diterima)
  2. Kritik Peraturan: Upaya tuk membongkar pandangan atas dunia, yang cenderung menggunakan justifikasi etis-estetis atau justifikasi moral (cenderung tak diterima)

Kritik pengetahuan mudah diterima, karena basisnya yang rasional, sedangkan kritik peraturan yang kaitannya dengan nilai-nilai moral cenderung tak diterima. Sebab ada suatu hegemoni simbolik yang mengaturnya, sehingga mengakibatkan munculnya pemutlakan kebenaran dalam relativitas pandangan.

Semisal peraturan pelarangan rambut gondrong dalam sekolahan dengan dalih kebaikan (etis) dan kerapian (estetis), lalu dikritik dengan argumen bahwa aturan itu justru tak baik karena mengalihkan fokus sekolah pada penampilan ketimbang kecerdasan. Namun oknum sekolah masih bersikeras tuk memapankan aturan itu padahal telah rancu, dengan justifikasi etis yang telah kadaluarsa dan basi hipotesanya.Dengan membedakan dua kritik ini, kita akan mencoba memasuki pembahasan utama.

Mengkritisi Haruskah Mencari Solusi?

Apakah mengkritik harus disertakan solusi dalam mekanismenya? Dalam kritik pengetahuan yang salah satu contohnya adalah revolusi copernikan, Copernicus memperlihatkan kerancuan pandangan bahwa bumi adalah pusat alam semesta dengan cara melakukan observasi, ternyata menemukan sistem tata surya, lalu memberi pandangan baru bahwa matahari lah yang menjadi pusat alam semesta.

Anggaplah bahwa observasi Copernicus akan benda-benda di semesta adalah upaya pembuktian kerancuan pandangan 'bumi adalah pusat alam semesta', lalu pandangan 'matahari adalah pusat alam semesta' adalah solusinya.

Akankah wajib bagi Copernicus ketika mengamati benda-benda di angkasa lalu mengkritik pandangan 'bumi pusat alam semesta' memberikan solusi atas kritikannya?.

Kita ambil contoh yang lebih kompleks, ada suatu masyarakat yang menaati pola hidup sehat hasil rumusan ilmuwan setempat, ternyata banyak orang yang justru sakit ketika mengikuti pola tersebut. Lalu ada penduduk biasa yang mengkritik pola hidup sehat rumusan para ilmuwan itu, akankah wajib bagi penduduk itu tuk melakukan observasi guna menemukan solusinya?.

Terlihat di sini bahwa mencari solusi tak harus dilakukan bagi orang yang mengkritisi, mencari solusi adalah tugas bagi orang yang mumpuni. Copernicus mengkritisi sekaligus menemukan solusi karena ia memiliki kapasitas yang mumpuni (sebagai akademisi).

Dalam kritik peraturan, kita ambil contoh kasus mengenai efektivitas pembelajaran daring. Kita melihat bahwa ternyata pembelajaran daring itu kurang efektif lalu kita mengkritiknya, apakah kita wajib tuk mencari solusinya? Tentu tidak, karena mencari solusi adalah tugas pemerintah, namun jika kita memberi solusi tentu akan lebih baik.

Tak Mau Dikritisi Malah Minta Solusi, Apakah Pikiran Sudah Tak Berfungsi?

Telah kita lihat bahwa mengkritisi tak harus memberi solusi, namun masih banyak orang maupun institusi yang ketika dikritisi justru mewajibkan adanya solusi. Semisal ketika kita mengkritik peraturan sekolah terkait hilangnya peran guru (sekolah) dalam pembelajaran jarak jauh, lalu sekolah mewajibkan kita (pengkritik) tuk mencari solusinya.

Pewajiban itu adalah tanda bahwa sekolah tak dapat berfikir dan kekurangan gizi, sebab nalarnya mengalami disfungsi. Sebab sekolah sebagai institusi yang (harusnya) penuh akan akademisi justru tak dapat menyelesaikan masalah (yang diangkat oleh kritik) dalam sistemnya. Akan tetapi, memberi kritik sekaligus solusi adalah hal yang amat afdol namun tidak wajib.

Dilema Antara Konservasi Alam dan Pembangunan Pariwisata Ekonomi di Pulau Komodo

Komodo di Pulau Komodo - pexels.com

Sumber Daya Pikiran - Pulau Komodo, yang terletak di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia, telah menjadi ikon konservasi satwa alam dan tujuan pariwisata populer selama beberapa dekade terakhir karena menjadi habitat bagi komodo, kadal raksasa yang hanya ditemukan di wilayah ini.

Pulau Komodo adalah salah satu dari sedikit tempat di dunia di mana komodo dapat ditemukan dalam habitat alaminya. Selain itu, pulau ini juga memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, dengan berbagai spesies tumbuhan dan hewan. Upaya konservasi pulau ini telah mendapatkan perhatian global dan diakui sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO.

Namun, baru-baru ini, rencana pembangunan sebuah pusat pariwisata internasional di Pulau Komodo telah menimbulkan perdebatan sengit antara keinginan untuk meningkatan pereknomian pariwisata nasional dan  pertanyaan kritis tentang bagaimana dampak terhadap konservasi satwa alam dan manfaat berkelanjutan yang diterima oleh masyarakat setempat.

Pemerintah Indonesia telah mengumumkan rencana untuk membangun pusat pariwisata internasional di Pulau Komodo. Rencana ini mencakup pembangunan fasilitas seperti hotel, restoran, dan marina yang dapat menampung jumlah wisatawan yang lebih besar. Tujuan dari proyek ini adalah meningkatkan kunjungan wisatawan, menghasilkan pendapatan yang lebih besar, dan mendorong pembangunan ekonomi di wilayah tersebut.

Rencana pembangunan pusat pariwisata internasional di Pulau Komodo telah menimbulkan keprihatinan besar terkait dampaknya pada konservasi alam. Satwa liar, termasuk komodo, sangat rentan terhadap gangguan lingkungan. Kepadatan kunjungan wisatawan yang lebih tinggi dapat mengganggu ekosistem pulau dan memengaruhi perilaku satwa liar.

Perkembangan pariwisata yang cepat di daerah tersebut, terutama sejak Pulau Komodo menjadi tujuan penerbangan internasional, menimbulkan kekhawatiran tentang dampak negatifnya terhadap lingkungan dan ekosistem. Kepadatan wisatawan yang tinggi, pembangunan infrastruktur, dan pengelolaan yang tidak tepat telah memunculkan risiko terhadap kelestarian alam Pulau Komodo.

Pulau Komodo, dengan keindahan alamnya dan populasi unik komodo, adalah sebuah tempat ajaib yang selama ini menjadi kawasan konservasi alam dan kebanggaan Indonesia. Namun, ketika rencana untuk mengubah pulau ini menjadi pusat pariwisata internasional muncul, di balik impian yang cemerlang tersebut, ada ancaman besar yang mengintai.

Salah satu ancaman yang paling mencolok adalah potensi dampak negatif terhadap lingkungan alam. Pulau Komodo dan habitatnya yang rapuh sangat rentan terhadap gangguan manusia. Pembangunan infrastruktur seperti jalan dan pelabuhan maritim dapat merusak habitat alam dan mengganggu pola migrasi satwa liar, yang dapat mengakibatkan hilangnya keanekaragaman hayati dan mengancam kepunahan.

Jalur hiking yang ramai dan perkembangan pembangunan yang besar-besaran dapat mengganggu ekosistem dan mengubah pola migrasi satwa liar. Komodo, makhluk paling ikonik pulau ini, bisa menjadi terganggu oleh kedatangan wisatawan yang tidak terkendali dan dapat mengakibatkan hilangnya keanekaragaman hayati yang berharga dan berkontribusi pada kerentanannya terhadap kepunahan.

Selain dampak ekologi, ada juga ancaman sosial yang perlu dipertimbangkan. Kepadatan kunjungan wisatawan yang tinggi dapat memicu gentrifikasi dan mengakibatkan tingkat harga yang lebih tinggi di daerah tersebut. Akibatnya?, masyarakat lokal yang telah lama tinggal di sana mungkin terpaksa pindah karena tidak mampu lagi membeli atau menyewa tempat tinggal yang harganya semakin melonjak tajam. Jika tidak dikelola dengan baik, proyek pariwisata ini bisa menjadi bencana bagi masyarakat lokal yang telah hidup selaras dengan lingkungan alam ini.

Baca Juga: Wajah Kemiskinan dari Sudut-Sudut Kota di Indonesia

Dalam upaya untuk mendukung proyek pariwisata yang besar ini, ada risiko bahwa kepentingan lingkungan dan konservasi akan tersisihkan. Tekanan untuk menghasilkan pendapatan dari wisatawan bisa memaksa pemerintah dan pengembang untuk mengabaikan peraturan dan praktik konservasi. Dalam beberapa kasus, ini bisa mengakibatkan penggunaan sumber daya alam yang berlebihan dan kerusakan permanen terhadap ekosistem pulau.

Selain itu, peningkatan jumlah wisatawan dan pengunjung internasional juga bisa membawa dampak pada budaya dan kehidupan masyarakat lokal. Nilai-nilai tradisional, adat, dan norma budaya mungkin akan terpengaruh oleh arus globalisasi dan budaya pariwisata. Ini bisa mengancam identitas budaya masyarakat lokal dan membawa dampak pada generasi mendatang.

Namun, yang paling sering di abaikan adalah pengawasan dan penegakan hukum yang buruk. Dalam situasi seperti ini, pengawasan yang buruk dan kurangnya penegakan hukum dapat mengakibatkan penyimpangan serius. Illegal fishing, perusakan lingkungan alam, dan eksploitasi satwa liar adalah potensi risiko yang harus dihadapi. Jadi, di tengah semua potensi manfaat ekonomi yang dijanjikan oleh pembangunan pusat pariwisata internasional di Pulau Komodo, ancaman besar terhadap lingkungan alam, sosial, dan konservasi satwa liar perlu mendapat perhatian serius.

Dalam memutuskan arah yang akan diambil dalam rencana pembangunan ini, adalah penting untuk memastikan bahwa pelestarian alam dan kesejahteraan masyarakat lokal tidak dilupakan demi keuntungan pariwisata. Keseimbangan yang tepat antara pengembangan ekonomi dan pelestarian lingkungan harus ditemukan, dan pengawasan yang ketat dan transparansi dalam pengelolaan sumber daya harus diutamakan untuk melindungi keajaiban alam Pulau Komodo.

Dengan kesadaran yang kuat tentang tantangan ini, proyek pembangunan pusat pariwisata internasional di Pulau Komodo memiliki potensi untuk menjadi model pembangunan pariwisata yang berkelanjutan yang menggabungkan konservasi alam, pendapatan ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat lokal.

Proyek pembangunan pusat pariwisata juga memiliki dampak sosial yang signifikan terhadap masyarakat lokal yang tinggal di sekitar Pulau Komodo. Meskipun diharapkan bahwa proyek ini akan menciptakan lapangan kerja dan peluang ekonomi bagi penduduk setempat, perubahan drastis dalam tata kelola pariwisata dapat memiliki konsekuensi yang kurang diinginkan.

Meningkatnya tekanan pariwisata mungkin dapat mengakibatkan masalah sosial seperti tingkat harga yang lebih tinggi dan gentrifikasi, yang dapat mengusir masyarakat lokal dari wilayah tersebut. Hal ini mengundang pertanyaan tentang sejauh mana pemerintah dan pengembang akan melibatkan dan mendengarkan aspirasi masyarakat setempat dalam proses pembangunan ini.

Pulau Komodo adalah aset berharga bagi Indonesia dan dunia. Namun, keberlanjutan keindahan alam dan keanekaragaman hayati Pulau Komodo tergantung pada pengambilan keputusan bijak dalam pengembangan pariwisata di sana. Konservasi satwa alam dan kelestarian alam harus menjadi prioritas utama, dan manajemen pariwisata yang bijak harus diterapkan untuk memastikan bahwa Pulau Komodo tetap menjadi warisan berharga bagi generasi mendatang.

Rencana pembangunan pusat pariwisata internasional menghadirkan tantangan serius dalam memastikan bahwa konservasi alam dan kesejahteraan masyarakat lokal tidak terganggu. Perencanaan pariwisata yang perlu disertai dengan perencanaan dampak berkelanjutan perlu melibatkan masyarakat lokal, dan perhatian terhadap dampak lingkungan yang mendalam adalah kunci untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam hal ini, kolaborasi yang kuat antara pemerintah, pengembang, masyarakat lokal, dan lembaga konservasi menjadi kunci untuk mencapai tujuan yang seimbang antara konservasi alam dan pembangunan ekonomi.

Budaya Sabung Ayam Bali dalam Perspektif Budaya

Ilustrasi - progres.id

Sumber Daya Pikiran - Sabung ayam adalah sebuah praktik pertandingan antara dua ayam jantan yang telah diatur dan dilatih untuk berkelahi satu sama lain. Pertarungan ini sering diatur di arena khusus yang disebut "gelanggang sabung ayam." Sabung ayam telah menjadi bagian dari budaya dan tradisi di banyak tempat di dunia, beberapa pihak yang kontra menitikberatkan praktk ini pada penyiksaan hewan dan perjudian.

Buku "Deep Play: Notes on the Balinese Cockfight" yang ditulis oleh Clifford Geertz adalah salah satu karya klasik dalam antropologi budaya yang membawa pembaca ke dalam dunia yang unik dan menarik dari permainan sabung ayam di Bali. Dalam buku ini, Geertz mengkaji permainan sabung ayam Bali sebagai sebuah tradisi simbolik budaya yang jauh lebih dalam daripada sekadar hiburan atau pertarungan ayam, yang memberikan wawasan mendalam tentang cara masyarakat Bali memahami diri mereka sendiri, dalam konsep hierarki sosial, dan pemahaman mendalam tentang budaya sabung ayam.

Geertz memulai buku ini dengan merinci pengalaman pribadinya saat menghadiri sebuah pertarungan sabung ayam di desa kecil di Bali. Dia menciptakan suasana yang sangat hidup dalam deskripsi ini, menggambarkan bagaimana perasaan, antusiasme, dan ketegangan berkembang selama pertarungan tersebut. Ini adalah titik awal yang memukau dalam buku, mengundang pembaca untuk ikut serta dalam pengalaman tersebut dan merasa seperti berada di sana.

Dalam analisisnya tentang sabung ayam Bali, Geertz menjelaskan bahwa bahasa adalah salah satu kunci untuk memahami makna budaya. Dia menggambarkan bagaimana kata-kata dalam bahasa Bali digunakan untuk merinci konsep-konsep yang mendasari permainan ini. Misalnya, kata "tajen" mengacu pada pertarungan ayam itu sendiri, sementara kata "uli" digunakan untuk menjelaskan ketika ayam menyerang dengan marah. Ini adalah contoh bagaimana bahasa mencerminkan dan membentuk pemahaman masyarakat tentang permainan tersebut.

Geertz kemudian membahas sejarah dan konteks sosial dari sabung ayam di Bali. Dia menjelaskan bahwa sabung ayam adalah bukan hanya sekadar hiburan, melainkan suatu bentuk "deep play," yang merupakan permainan yang sangat penting dalam budaya Bali. Pertarungan ayam bukan hanya sekadar olahraga atau perjudian, tetapi juga ritual yang memegang peranan penting dalam memahami tatanan sosial dan moral masyarakat Bali.

Buku ini membedah makna dan simbolisme yang terkandung dalam sabung ayam. Geertz menggambarkan bagaimana ayam dalam pertarungan menjadi perpanjangan diri pemiliknya, dan hasil pertarungan menggambarkan hubungan sosial dan hierarki. Ia juga membahas konsep 'kasta' dan bagaimana permainan sabung ayam secara tidak langsung mencerminkan struktur sosial Bali yang sangat hierarkis.

Salah satu konsep yang paling menarik dalam buku ini adalah gagasan tentang "moralitas dalam permainan." Geertz mengungkapkan bahwa permainan sabung ayam adalah cara masyarakat Bali menguji, mempertanyakan, dan memahami norma-norma moral yang ada dalam budaya mereka. Hasil pertarungan bukan hanya tentang menang atau kalah, melainkan juga tentang penghormatan dan penghinaan, serta pengakuan dan penolakan sosial.

Dalam buku ini, Geertz menyoroti bagaimana kesalahan dalam penentuan siapa yang menang dan siapa yang kalah dalam pertarungan ayam bisa memiliki konsekuensi sosial yang serius. Dalam masyarakat Bali, menilai sebuah pertarungan sabung ayam memerlukan pemahaman yang mendalam tentang konteks sosial dan politik. Kesalahan dalam menilai pertarungan dapat mempengaruhi status sosial dan kasta seseorang dalam masyarakat.

Geertz juga membahas pentingnya teater dalam permainan sabung ayam. Ia menggambarkan bagaimana pertarungan ayam adalah pertunjukan teatrikal yang menarik dan mendalam. Hal ini melibatkan banyak unsur dramatis, seperti perlengkapan ayam, tindakan pemilik ayam, dan reaksi penonton. Ini tidak hanya sebagai ajang pertarungan fisik, tetapi juga sebagai pertunjukan budaya yang mendalami makna dan emosi dalam konteks sosial.

Kemammpuan Geertz dalam memberi interpretasi antropologis menunjukkan betapa pentingnya tafsir dan interpretasi dalam memahami budaya, dengan menekankan bahwa tidak cukup hanya melihat peristiwa luar, tetapi kita juga harus mencoba memahami cara masyarakat setempat melihat dunia mereka sendiri.

Salah satu hal yang membuat buku ini menarik adalah bahasa yang digunakan oleh Geertz. Meskipun dia menghadirkan analisis yang mendalam, dia melakukannya dengan cara yang sangat akrab dan mudah dipahami. Penjelasannya yang berwawasan, penuh warna, dan penuh gaya membuat pembaca merasa seperti mereka ikut serta dalam perjalanan penelitian Geertz.

Buku "Deep Play: Notes on the Balinese Cockfight" adalah sebuah karya yang sangat menarik untuk dibaca dalam antropologi budaya. Buku ini seakan membuka pintu ke dalam dunia yang unik dan menarik dari permainan sabung ayam di Bali, yang mengajarkan kita tentang bagaimana sambung ayam dapat dibedah melalui perspektif budaya, tatanan sosial, dan moral.

Clifford Geertz menunjukkan kepada kita bahwa bahkan dalam hal-hal yang tampaknya sederhana dan kasual, terdapat lapisan-lapisan makna yang dalam, yang membentuk esensi budaya suatu masyarakat. Buku ini adalah wajib baca bagi siapa pun yang tertarik dalam pemahaman budaya dan makna dalam konteks sosial yang lebih luas.