Cerita Pendek: Awalan
: Man is not what he thinks he is, he is what he hides--André Gide
Apa yang paling membosankan adalah mengatakan bahwa siang yang tampak hari ini; siang yang hanya menampilkan kerusakan dari terik matahari jauh ke kulit tubuh menjadi beberapa fragmentasi tak terpahami. Ingat, ya, ingatlah. Langit, matahari, kamar, manusia, rumah, serta seisi siang yang aneh ini terlihat nyala mentereng di kaki para manusia yang muram berjalan kaki, memaki dirinya sendiri, dan berkata, “mengapa perasaan manusia gampang berganti?” Itu semacam protes yang tergesa-gesa. Di lain sisi, sebagian manusia yang berjalan itu berupaya menghadirkan arwah masa kecilnya, semacam alternatif guna menganggap bahwa ini semacam jenis permainan yang sebenarnya mengasyikkan --meski sulit diselesaikan. Sungguh samar menangkap pesan penting di setiap kejadian siang ini. Apalagi, ketika siang yang aneh ini memproduksi perasaan yang mengarah kepada putus asa yang wajar, semacam kejenuhan akan fragmentasi yang tak terhingga jumlah kekalahannya.
Lalu, aku yakin dengan pasti, di suatu hari semua orang akan meninggalkanku, dan pergi menjauh, semua terjadi secara wajar-wajar saja--alamiah. Aku tahu, manusia punya hak melakukan itu semua. Meskipun aku sendiri ragu bisa melakukan demikian. Ya, aku telah hidup hampir selama dua puluhan tahun di kewajaran yang tak wajar, tapi tak sedikitpun kupahami itu semua—bahkan soal diriku sendiri, dan beberapa hal-hal yang sering aku lupa. Apa pentingnya mengenal mengerti itu semua ? Apa ketika aku mengerti semua itu, sebagaimana seharusnya hal itu terjadi sebagai manusia yang utuh, akan kudapatkan suatu yang lain dari kenyamanan? Aku rasa itu sama sekali tak ada artinya. Dan, ketika mengenal banyak dari kewajaran itu, apakah ia akan memaklumi bentuk keanehan yang tak kumengerti? Meskipun, jujur saja, aku takut untuk tidak mengerti itu semua, apalagi seminggu yang lalu aku serang pertanyaan seperti “mengapa ini harus jadi rutinitas?”; “mengapa aku harus mewarjarkan ini?”: “mengapa tak ada satu kegiatan yang tidak membosankan selain rutinitas ini semua?”; dan pertanyaan yang jenisnya hampir sama. Sejak saat itu aku merasa aku malu dan takut, dan tak tahu apa yang mesti kulakukan terhadap semua ini? Lalu, ketika menyusuri jalan ramai, melihat berjejer kendaraan dan lampu-lampu, orang-orang sibuk, kota sibuk, parahnya tak ada yang kukenal wajah yang tersenyum padaku, dan tak tahu harus melakukan apa terjadi. Orang-orang itu, agaknya juga tidak mengenalku—bahkan kukira menganggap semua ini sebagai satu kesamaan yang persis kupikirkan. Walau aku kenal sedikit dari mereka—maksudku mengenal mereka dari wajah yang hampir sama kulihat ketika aku berbicara di depan cermin—,tapi, itu malah membuatku tak mengenal apa-apa, bahkan diriku sendiri ketika aku berbicara dengan diriku semi. Jujur, aku gembira ketika tak ada yang mengenalku, dan apakah harus sedih semua ini harus terjadi? Ah... iya, aku nyaris menjalin suatu persahabatan dengan perempuan yang kukenal, tapi aku lupa namanya. Aku kira itu hari yang terasa punya kesan bahagia, pada jam-jam sibuk kami selayaknya tembok yang bertatapan dengan wajah gembira; kami akan berbisik kepada diri sendiri bahwa kami saling mengenal, sementara itu semua cepat terlupakan, dan hari-hari itu menghilang perlahan. Kami saling menunjukkan minat yang hangat terhadap kebahagiaan via wajah kami. Tapi, suatu ketakberuntungan di waktu itu kami tidak berada di tempat yang biasanya harus saling bertemu, aku yakin hal demikian adalah suatu bentuk dari kekecewaan. Begitulah, kami nyaris selalu menatap mata untuk menghadiri aura satu sama lain, lebih-lebih ketika kami sedang dalam suasana yang gembira. Hari itu, ketika perjumpaan hampir tidak dilakukan beberapa hari, kami betul-betul akan menghadirkan kekecewaan terpendam dalam dunia kami masing-masing, lalu, ketika kami akan saling berpapasan berpandangan kekecewaan memancarkan tugasnya dengan baik dan benar.
Selain itu, di lain hal, aku gampang lupa mengenali rumah orang-orang di sekitarku. Menurutku berjalan sambil mengingat hal demikian adalah bentuk kebodohan, lebih-lebih aku merasa rumah itu tampak meledek diriku dengan kebekuan yang sombong, dan seakan-akan benda itu selalu berkata: bagaimana dengan dirimu? apakah kamu sudah tidak sendirian? Lihat! aku yakin kamu pasti kesepian, wahai manusia. Meski begitu, aku selalu nyaman berada di jalan itu, di antara tertawaan benda itu, beberapa dari benda itu baik kepadaku; di antara salah satu, ia selalu menyapaku dengan senyum yang ramah nan menenangkan, meskipun aku sadar itu tak mungkin mengubah apa-apa. Di setiap pagi dengan waktu yang cepat aku berjalan, mereka--rumah-rumah itu--semacam melototiku guna memastikan itu benar-benar aku. Lebih-lebih bila berjalan lamban, mereka marah dan membentakku laik seorang kapten awak kapal yang mabuk alkohol sambil berkata: cepat! Tugasmu belum selesai. Segalanya—semua yang terucap dan gerak-gerik ketaksukaan rumah itu terhadapku—aku terima, bagiku itu semacam teman kecil yang luar biasa untuk menemani diriku, atau hal-hal lain soal perasaan yang tak terjelaskan sebagai wujud dari semua ini. Aku ingat, dari semua rumah yang mengejekku, aku suka salah rumah yang ramah itu. Hal sederhana yang bisa kukatakan karena rumah ia memiliki warna merah dengan bangunan yang lumayan tertiba, luas yang tak seberapa dan panjang yang cukup untuk mewadahi satu keluarga. Ya, hanya sekadar itu, aku merasa gairah dari pancaran rumah itu mengembalikan suatu yang hilang padaku—mudah-mudah ini bukan semacam akal-akalan belaka, tapi suatu kebenaran dan aku tak pernah bohong--untuk berbohong? Selain itu, ia--si Rumah--tampak selalu diintimidasi oleh rumah-rumah yang berjejer di sebelahnya, semacam isyarat bahwa rumah itu adalah gambaran pemberontak dari bentuk kejujuran yang alamiah dalam diriku— aku tahu si pemilik rumah itu tak memiliki niat demikian atau hal-hal yang berkaitan dengan itu.
Pelan-pelan, dengan memperhatikan detail siang ini, agaknya sekarang aku mulai mengerti mengapa aku harus melakoni ini semua? Hal yang akan kukatakan bahwa kini perasaanku tak berbentuk sebagai kebahagiaan atau duka, barangkali ini semacam campuran dari keduanya. Kemudian, perasaan semacam ini sedikit lagi akan membuatku nyaman—setidaknya itu sebagai pilihan terakhir dan aku tak menyesalinya. Karena, bilamana aku berada di jalanan melihat orang, rumah dan semuanya di siang itu, aku merasa segalanya pasti akan bersatu dengan bentuk kesunyian, tapi apakah yang lainnya merasakannya? Lebih-lebih, ketika berada di kamarku, suasana kesunyian—jelasnya perasaan tak terjelaskan itu makin membuatku bingung sendiri dengan memikirkan apa yang salah dengan duniaku, dengan diriku, dan mengapa aku merasa begitu tidak nyaman dalam keadaan seperti ini? Lebih-lebih kebingunganku tampak seperti gambar di dinding-dinding ruangan yang berwarna hitam pekat dengan percikan merah jambu, dengan corak langit yang tertutup, suatu aura yang berhasil menggairahkan diriku untuk terus mempertahankan ini semua, semacam upaya memeriksa setiap keindahan lengkung perabotan, dan, pertanyaan terkait yang terselubung di balik makna yang jelimet-tak terpahami oleh entitas kenyataan hari ini. Di lain hal—di kamar siang ini— dengan menatap kebisuan benda-benda yang tampak sia-sia, aku tak sedikit pun percaya bahwa aku bisa menerima ini semua. Atau bahkan, menyuruh pikiran untuk mengubah segala perspektif keputusasaan menjadi satu hal yang lebih baik dari hal-hal yang telah menelan diriku saat ini. Walau, pada kenyataannya, aku selalu memantau kemalangan diriku dari balik cermin, tak ada suatu keberhasilan, dan keberanian untuk melakukan hal-hal demikian. Dengan demikian, aku merasa—dan dengan perasaan yang sulit tapi dinamis—bahwa ada suatu hal mengubah perlahan dari kamar ini, walau aku sendiri tak yakin bahwa itu bentuk dari upaya yang sungguh-sungguh!
Terakhir, sesungguhnya apa yang paling membuatku kesal adalah mengawali yang tampak hari ini, di kamar ini, dengan suatu yang akan mengubah fragmentasi-persepektif dari hal-hal yang lain menjadi suatu kebaruan yang terlalu tergesa-gesa! Ya, aku rasa, semua mengalir efektif-dinamis, segalanya harus kujalani pelan-pelan—meskipun tak kusukai dan pahami—guna mengawali segala kejadian tak masuk lainnya di siang selanjutnya.