Dukung Kreator Sumber Daya Pikiran

Situs dalam Proses Pemulihan!

Cari Artikel

Wajah Kemiskinan dari Sudut-sudut Kota di Indonesia

Kemisikinan di Indonesia
Ilustrasi Pinggiran Kota Jakarta - Okezone

Sumber Daya Pikiran - Pemandangan malam yang gelap, kilauan cahaya kota besar bersembunyi di balik kabut urbanisasi yang tak pernah lelah di kota-kota besar, selalu terdapat sekelompok masyarakat kelas bawah yang terpinggirkan dari gemerlapnya kota besar. Di balik cahaya gemerlap itu tersembunyi realitas yang sering kali pahit untuk sekedar diceritakan. Pemandangan ini adalah sebuah keniscayaan yang timbul akibat adanya hierarki dalam status perekonomian mereka.

Di tengah megapolitan yang memancarkan kesuksesan dan modernitas, ada kelompok yang terpinggirkan dan teralienasi, yakni para pekerja rendah dan tak tetap yang terjebak dalam siklus kemiskinan struktural yang sulit untuk diatasi. Lingkaran setan yang membuat mereka terjebak dalam siklus yang berulang. Saat sebagian orang menikmati indahnya gemerlap malam dengan makanan lezat dan keramaian di pusat hiburan malam, sementara sebagian lainnya harus beristirahat lebih awal karna besok harus kembali bekerja di shift pagi.

200 tahun yang lalu, atau sekitar tahun 1840 an, Marx telah bicara tentang alienasi manusia. Alienasi yang dimaksudkan adalah perasaan terasingnya manusia dari kreativitas, kepemilikan, dan pengendalian atas hasil kerja yang mereka lakukan. Alienasi yang terjadi pada diri manusia adalah sebuah dasar dalam memahami tentang bagaimana masyarakat kapitalis dapat menyebabkan pengalaman sosial yang merusak bagi sebagian orang. Di tengah tuntutan ekonomi yang kuat, pekerja sering kali menghadapi kondisi di mana mereka merasa tidak memiliki kendali atas produksi dan hasil dari upaya kerja mereka sendiri. Manusia di era industri saat itu dipaksa untuk keluar dari dorongan naluriahnya untuk berinteraksi dengan individu lainnya dan menjadi manusia yang memiliki tanggungjawab koletif

Sebagai negara berkembang, kemiskinan struktural di Indonesa telah menjadi masalah yang menantang di banyak kota-kota besar. Banyak pekerja terpaksa bekerja dalam pekerjaan rendah dan tak tetap, seperti buruh pabrik, pembantu rumah tangga, dan pekerja informal lainnya yang seringkali terjebak dalam permaslahan hutang yang diturunkan. Tanah digadai, rumah dijual dan kendaraan dijadikan jaminan oleh para lintah darat yang dengan suka cita menjadikan para masyarakat miskin ini sebagai santapan empuk untuk lilitan hutang. Meskipun hidup di tengah kilauan perkotaan yang modern, mereka terjebak dalam siklus ketidakpastian dan kemiskinan yang tak berujung.

Alienasi yang dulu Marx maksudkan bukan hanya merampas kendali atas produksi, tetapi juga merenggut rasa pemenuhan dan penghargaan dari pekerjaan yang para pekerja ini alami sehari-harinya. Pekerjaan-pekerjaan rendah dan tak tetap sering kali tidak memberikan rasa pencapaian atau kedalaman dalam pengalaman kerja. Para pekerja kehilangan makna dari pengabdian yang mereka jalani dalam rangka menimbulkan produksi. Hierarki dalam rantai produksi telah menghilangkan kewajban moral dari para pekerja untuk menerima rasa dihargai dan terhubung dengan pekerjaan yang mereka jalani. Sistem yang ada menjadikan pekerja makin terasing dari siklus sosial yang menjadi dorongan naluriah dari manusia. Akibatnya? Perasaan hampa dan budaya konsumerisme jadi satu-satunya dorongan untuk menumpahkan kebutuhan sosial yang mereka alami.

Gagasan Marx tentang materialisme dialektik mengajak kita untuk melihat bagaimana alienasi ini berkontribusi pada realitas kemiskinan yang kronis di tengah kemegahan kota dan kemerosotan moral yang terjadi. Ketika pekerja merasa terasingkan dari hasil kerja mereka oleh system yang ada. Sedang, mereka cenderung tidak memiliki kemampuan untuk mempengaruhi kondisi kerja mereka atau menciptakan perubahan yang lebih baik. Alienasi ini merusak keterlibatan aktif pekerja dalam masyarakat dan memperkuat lingkaran kemiskinan yang sulit diputuskan tanpa keikutsertaan para kapitalis.

Baca Juga: Materialisme Historis dalam Melihat Peralihan Makna Kerja

Di Indonesia, kemiskinan struktural dan alienasi dalam pekerjaan rendah dan tak tetap masih menjadi isu sosial yang mendesak, dan menjadi tema yang semerbak. Periodesasi kepemimpinan di Indonesia tak jarang mengangkat isu kemiskinan sebagai objek bualan. Bahan obral yang secara mudah dijawab dengan “Saya ingin mengentaskan kemiskinan!” Nyatanya? Cih, setiap periode selalu diisi dengan bualan yang sama.

Ada banyak faktor yang melandasi hal ini, diantanyanya adalah kekurangan hak kerja yang layak, rendahnya upah, serta minimnya jaminan sosial membuat banyak pekerja terjebak dalam lingkaran kemiskinan yang sulit diatasi. Alienasi yang terjadi memaksa para pekerjaan kurang memberikan rasa kepemilikan atas kegiatan produksi yang mereka jalani. Bukan hanya itu, keterasingan ini menjadikan mereka kehilangan makna dan rasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dalam rantai produksi.

Bagaimana kita dapat merespon realitas ini? Tentu kita bukan pengambil kebijakan yang dengan sebuah coretan di selembar kertas dapat menjawab permasalahan ini dengan mudah. Namun tulisan ini diperuntukan bagi siapapun yang peduli pada nasib pekerja dalam rantai produksinya. Meningkatkan kesejahteraan sosial, memperkuat mental dan tujuan akhirnya adalah menciptakan keadilan bagi semua orang.

Salah satunya adalah meningkatkan perlindungan pekerja dan memberikan hak-hak yang layak dalam pekerjaan. Ini mencakup upah yang adil, akses ke jaminan sosial, dan kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan yang diselenggarakan oleh para industrialis dan kapitalis. Memahami bahwa mengurangi alienasi dalam pekerjaan dapat membantu menghancurkan lingkaran kemiskinan struktural dan memberikan peluang bagi pekerja untuk tumbuh dan berkembang di negara yang kita tinggali ini.

Cukup pelik mungkin, namun alienasi dalam pekerjaan rendah dan tak tetap yang sejak lama telah menjadi karakteristik masyarakat dari negara berkembang dimanfaatkan oleh kapitalis yang baik secara sadar ataupun tidak merusak banyak aspek dalam tataran kehidupan manusia, terutama di negara berkembang seperti Indonesia.

Nampaknya Marx benar dalam melihat bagaimana pekerja mengalami keterasingan dari produksi, pemenuhan, dan penghargaan dalam pekerjaan mereka. Dalam masyarakat yang terus berubah dan berkembang, selayaknya kita untuk menghadapi masalah ini dan berupaya menghilangkan alienasi dalam dunia pekerjaan, yang secara integral menjadi siklus berulang yang dialami oleh masyarakat terpinggirkan di kota-kota besar di Indonesia. Dengan demikian, kita dapat membuka jalan bagi kesejahteraan yang lebih baik dan mengatasi kemiskinan struktural yang masih menjadi tantangan nyata secara partisipatif, dan bukan hanya retoris.