Ilustrasi - ChatGPT
Asia Tenggara hari ini sedang menyaksikan kebangkitan militerisme dalam wajah baru, bukan hanya kudeta berdarah, tetapi juga penetrasi halus militer ke dalam ruang sipil, hukum, bahkan ekonomi. Dari Myanmar, Thailand, hingga Indonesia, militer tampil bukan sekadar sebagai alat pertahanan, melainkan sebagai aktor politik yang tak pernah benar-benar mundur meski rezim berganti.
Myanmar adalah potret paling telanjang, kudeta 2021 menyingkap bagaimana militer
(Tatmadaw) sejak awal memang merancang transisi demokrasi sebagai ilusi.
Konstitusi 2008 memberi militer jatah 25% kursi parlemen dan hak veto atas
perubahan konstitusi, menjamin mereka tetap berkuasa meski kalah pemilu. Begitu
suara rakyat memenangkan NLD, jawabannya adalah tank di jalan dan peluru di
dada demonstran. Demokrasi, di mata Tatmadaw, hanyalah selimut tipis untuk
menenangkan komunitas internasional.
Thailand mempraktikkan model yang lebih halus, tapi sama
berbahayanya. Sejak kudeta 2014, junta militer mengatur transisi ke
pemerintahan sipil lewat konstitusi baru yang memperpanjang cengkeraman mereka,
majelis tinggi yang ditunjuk militer,
aturan pemilu yang memecah kekuatan oposisi, dan regulasi drakonian terhadap
kebebasan berpendapat. Hasilnya, pemerintah “sipil” tetap bergantung pada restu
tentara, dan kritik di ruang publik dibungkam atas nama stabilitas nasional.
Indonesia, meski tidak mengalami kudeta, sedang diguncang
wacana revisi UU TNI yang membuka peluang militer kembali aktif di jabatan
sipil. Retorika yang dipakai selalu sama, demi efektivitas, kedaruratan, atau kebijakan
strategis. Padahal, reformasi pasca-1998 secara tegas lahir dari kesadaran akan
bahaya dwifungsi, ketika tentara menjadi
polisi moral, penguasa ekonomi, dan pengatur politik, sementara warga sipil
kehilangan ruang bernegosiasi.
Apa yang terjadi di tiga negara ini menunjukkan pola
regional, militer belajar bahwa kudeta
frontal mengundang kecaman, tapi kudeta konstitusional atau penetrasi bertahap
justru sulit dibendung. Demokrasi di atas kertas tetap ada, pemilu, parlemen,
bahkan presiden sipil, tapi roh demokrasi, yakni akuntabilitas sipil dan
supremasi rakyat, mati perlahan.
Yang paling berbahaya adalah legitimasi baru yang muncul, militer dipersepsikan sebagai penjamin
stabilitas di tengah “kegaduhan politik sipil.” Narasi ini subur, apalagi
ketika elite sipil sendiri korup dan gagal menjawab krisis sosial-ekonomi.
Ironisnya, kegagalan sipil sering dijadikan pembenaran bagi kembalinya peran
militer, padahal justru karena bayang-bayang tentara tak pernah benar-benar
pergi, demokrasi sipil sulit tumbuh dewasa.
Kebangkitan militerisme gaya baru ini tak selalu berbentuk
senjata di jalanan, melainkan pasal-pasal konstitusi, kursi di parlemen, dan
wacana keamanan nasional yang dikemas rapi. Publik terbuai, seolah kehadiran
tentara di ruang sipil adalah hal normal, padahal ini adalah jalan sunyi menuju
kematian demokrasi substansial.
Sejarah mengingatkan, demokrasi yang tak berani menertibkan militer
akhirnya selalu kalah, dan rakyat yang diam membayar mahal dengan kebebasan
mereka sendiri. Kebangkitan militerisme hari ini bukan hanya persoalan Myanmar,
Thailand, atau Indonesia, tetapi sinyal bahaya bagi seluruh Asia Tenggara, bahwa demokrasi bisa dibunuh, bahkan tanpa
suara tembakan.
Referensi
Chambers, P. (2013). “Military ‘Shadows’ in Thailand since the 2006 Coup.” Asian Affairs.
Farrelly, N. (2022). Myanmar’s Military and the Challenge of Transition.
Mietzner, M. (2019). “Military Politics, Islam, and the State in Indonesia.” ISEAS.
Croissant, A., Kuehn, D., Chambers, P., & Wolf, S. O. (2010). Beyond the Fallacy of Coup-ism, Conceptualizing Civilian Control of the Military in Emerging Democracies.
Sidel, J. T. (2006). Riots, Pogroms, Jihad, Religious Violence in Indonesia.