Ilustrasi - Nidiansrafi - Remotivi
Dalam beberapa tahun terakhir, wajah dakwah Islam di ruang publik berubah drastis. Kritik sosial dan wacana keadilan struktural yang dulu menjadi nafas gerakan Islam progresif perlahan tergeser oleh dakwah pop, ustaz seleb, konten motivasi spiritual, dan kultum singkat berformat viral. Islam tampil sebagai produk yang ringan, penuh jargon self, improvement, dan dipoles agar sesuai dengan algoritma platform digital.
Fenomena ini bukan hanya soal gaya, tapi juga soal arah, substansi dakwah bergeser dari kritik sistem
penindasan menjadi sekadar tuntunan moral individu. Dulu, khotbah dan diskusi
keagamaan banyak membicarakan ketidakadilan, kesenjangan sosial, bahkan
merumuskan perlawanan terhadap tirani kekuasaan. Kini, dakwah yang laku adalah
yang “adem”, “netral”, dan aman dikonsumsi follower lintas kelas—asal jangan
terlalu frontal pada oligarki, negara, atau korporasi.
Inilah bentuk depolitisasi yang bekerja halus. Narasi Islam
sebagai kekuatan moral yang seharusnya menyentuh struktur ketidakadilan
ekonomi, perusakan lingkungan, atau represi politik, digeser menjadi sekadar
pengingat sabar dan ikhlas. Kritik terhadap kebijakan neoliberalisme,
eksploitasi buruh, atau keserakahan pemodal jarang terdengar. Yang dominan
justru tema “hijrah”, “rezeki halal”, dan “sukses dunia akhirat” dalam logika
personal, seolah akar persoalan sosial selalu terletak pada kekurangan iman individu,
bukan cacat sistemik.
Lebih dari itu, popularitas ustaz seleb juga membuat konten
religius menjadi industri, jumlah viewer
dan endorsement menjadi standar kebenaran. Ini memperkuat insentif untuk
“berdakwah yang aman”, tidak menyerempet isu struktural, dan tidak merusak
relasi dengan sponsor. Kritik sosial yang dulu hidup di majelis diskusi kampus,
pengajian progresif, atau gerakan mahasiswa Islam, berubah jadi noise yang
kalah saing dengan quotes motivasi bergrafis cantik.
Yang paling tragis, depolitisasi ini mengosongkan potensi Islam
sebagai energi emansipasi sosial. Padahal sejarah mencatat, gerakan keagamaan
sering menjadi motor kritik paling keras pada ketidakadilan. Namun ketika Islam
direduksi jadi soal gaya hidup, tips pasangan harmonis, atau sekadar konten
harian, ia berhenti menjadi kekuatan transformasi. Islam dijauhkan dari
keberpihakan pada yang tertindas—dan dijaga agar tetap nyaman untuk dikonsumsi
semua kelas, termasuk mereka yang diuntungkan oleh status quo.
Fenomena dakwah pop ini bukan terjadi begitu saja; ia tumbuh
subur di bawah ekosistem media sosial yang dikendalikan algoritma engagement.
Konten panjang tentang keadilan struktural kalah cepat dengan video satu menit
yang memicu haru atau tawa. Algoritma tak peduli kedalaman pesan; ia hanya
peduli jumlah klik.
Inilah wajah baru penjinakan kritik sosial, bukan dengan sensor keras, tapi dengan
membanjiri ruang publik dengan dakwah “positif” yang apolitis. Islam tetap
tampak hidup, tapi bisu terhadap struktur penindasan. Sebuah kemenangan senyap
bagi status quo, dan kerugian besar bagi cita, cita Islam sebagai rahmat bagi
seluruh semesta, bukan sekadar penghibur hati di tengah ketidakadilan.
Referensi
Bayat, A. (2007). Making Islam Democratic, Social Movements and the Post, Islamist Turn.
Roy, O. (2004). Globalized Islam, The Search for a New Ummah.
Hoesterey, J. B. (2016). Rebranding Islam, Piety, Prosperity, and a Self, Help Guru.
Hefner, R. W. (2011). “Public Islam and the Problem of Democratization.” Sociology of Religion.
Mandaville, P. (2007). Global Political Islam.