Sumber Daya Pikiran - Indonesia adalah negara berkembang, setidaknya sampai saat ini. Kemajuan ekonomi yang terjadi sebagian besar masih dimotori oleh konglomerasi dari beberapa keluaga besar yang bergerak di berbagai sektor di Indonesia. Sebuah ketimpangan yang dibiarkan begitu saja oleh berbagai lapisan masyarakat dan diyakini sebagai keharusan. Memang iya dunia tidak selalu adil, tapi haruskah membiarkan 80% kekayaan dari bumi Indonesia hanya dinikmati oleh 10% masyarakatnya?
Tentu saja kita semua memiliki kecemburuan tentang hal ini, karena kita tahu bisnis dan ekonomi berlaku secara "Zero Sum Game", atau kemenangan bagi satu pihak sama dengan kekalahan bagi pihak lainnya. Keterbatasan akses pada pengelolaan pasar dan bisnis membuat sebagian orang terjebak pada kemiskinan struktural.
Potensi kemajuan Indonesia sangatlah ditentukan oleh kualitas sumber daya dari masyarakatnya, yang sampai saat ini masih menempati posisi ke empat dunia. Perlu diingat, bahwa Indonesia memiliki rating yang rendah dalam berbagai indikator global seperti pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Kualitas sumber daya manusia merupakan salah satu faktor penting yang dapat membantu Indonesia untuk mencapai kemajuan yang lebih besar. Pada tahap ini, penting untuk membahas potensi pembangunan sumber daya manusia di Indonesia serta upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi tantangan dan mengoptimalkan potensi ini.
Indonesia menghadapi berbagai tantangan dalam berbagai sektor, termasuk ekonomi, politik, dan sosial. Dalam era globalisasi dan dominasi kapitalisme, penting bagi masyarakat untuk memiliki kemampuan berpikir kritis dalam menghadapi perubahan dan tantangan yang kompleks. Sayangnya, penerapan kurikulum pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya mendukung perkembangan kemampuan berpikir kritis, dan hal ini memberikan dampak negatif terhadap masyarakat.
Mengembangkan kemampuan berpikir kritis terhadap masyarakat Indonesia adalah langkah penting dalam menghadapi tantangan kapitalisme yang massif, ketidaksetaraan ekonomi, dan masalah sosial yang kompleks. Penerapan kurikulum Filsafat Nalar dalam sistem pendidikan adalah salah satu cara untuk mencapai hal ini. Dengan mengajarkan individu untuk merenung, menganalisa, dan memahami dunia dengan lebih mendalam, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih sadar, lebih kuat, dan lebih mampu menghadapi perubahan.
Sebagian besar negara Barat, seperti Amerika Serikat, Kanada, dan banyak negara Eropa lainnya telah mengadopsi pendekatan yang lebih progresif dalam pendidikan, yang mencakup pengajaran Filsafat Nalar dan keterampilan berpikir kritis sebagai bagian integral dari kurikulum mereka. Hal ini memungkinkan siswa untuk memahami lebih baik cara berpikir, menganalisis informasi, dan melakukan evaluasi terhadap argumen dengan lebih cermat. Tujuannya? tentu saja untuk memberikan sebuah fitur berpikir yang kuat untuk menghadapi perkembangan sosial, politik, dan ekonomi yang terus berubah dengan cepat, mengikuti globalisasi yang berjalan secara massif.
Sebagai contoh, Prancis memiliki sejarah panjang untuk memasukkan Filsafat dalam kurikulum pendidikan. Mata pelajaran Filsafat adalah bagian integral dari program sekolah menengah atas (lycée) di Prancis. Mata pelajaran Filsafat di lycée Prancis adalah mata pelajaran mendalam yang membahas berbagai konsep filosofis, pemikiran tokoh-tokoh filosof terkenal, dan pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang eksistensi, moralitas, pengetahuan, dan realitas.
Siswa di lycée Prancis diuji tentang pemahaman filsafatnya pada ujian nasional, dalam kurung waktu empat jam, setiap siswa di tahun terakhirnya. Mereka diminta untuk menjawab secara tertulis satu pertanyaan filosofis. Seperti contoh dari tahun-tahun sebelumnya mencakup, “Apakah kebenaran ilmiah bisa berbahaya?” dan “Apakah menemukan kebahagiaan merupakan tanggung jawab seseorang?”
Sedangkan di Inggris, Filsafat termasuk diajarkan sebagai mata pelajaran tambahan atau dalam program-program pendidikan yang lebih luas seperti beberapa sekolah menengah atas yang menawarkan kursus filsafat. A-level Philosophy adalah program studi yang mempersiapkan siswa untuk mengikuti ujian tingkat A dalam berbagai topik filosofis.
Pada tingkat tersebut, banyak sekolah di Inggris menawarkan A-level Philosophy sebagai kualifikasi tingkat lanjutan yang diambil oleh siswa dalam dua tahun terakhir pendidikan menengah mereka, yang biasa disebut sebagai "bentuk keenam", dengan menyesuaikan minat dan kebutuhan mereka.
Namun, di Indonesia, kurikulum pendidikan lebih berfokus pada pengajaran materi yang bersifat akademis, seperti matematika dan ilmu pengetahuan, tanpa memberikan penekanan yang cukup pada kemampuan berpikir kritis. Bentuk penerapan sistem pendidikan di Indonesia masih berorientasi pada penciptaan sumber daya manusia untuk memenuhi lapangan kerja di sektor produksi, yang lebih mengarahkan siswa ke tahapan memasuki pasar kerja daripada mengembangkan keterampilan dan kemampuan yang lebih luas untuk melihat segala potensi pemecahan masalah, yang tentu saja akan dilaksanakan oleh masyarakat Indonesia itu sendiri.
Sebagai hasilnya?, kita melihat bahwa daya pikir masyarakat Indonesia mengalami kerendahan, sehingga tidak mampu menghadapi dampak buruk kapitalisme yang semakin massif di negara ini. Padahal, Kemampuan berpikir kritis memungkinkan pekerja untuk memahami hak-hak mereka dan menentang eksploitasi. Hal ini berbanding terbalik dengan negara yang sistem pendidikannya difokuskan untuk berpikir kritis, sebagaimana para pekerjanya yang sering kali lebih kuat dalam memperjuangkan hak-hak mereka.
Kurangnya kemampuan berpikir kritis dapat menghasilkan beberapa masalah yang signifikan, seperti semakin meningkatnya ketidaksetaraan yang terjadi di tengah masyarakat, eksploitasi pekerja di banyak lapangan kerja dan terhambatnya perkembangan sosial menuju masyarakat yang maju untuk menciptakan peradaban Indonesia yang baru.
Antonio Gramsci, salah satu filsuf dari aliran Marxisme telah memaparkan argumennya, dalam bukunya yang berjudul “Prison Notebook”, yang memperhatikan peran pendidikan dalam pemeliharaan hegemoni. Bagi Gramsci, keberadaan Sekolah dan Universitas hanya untuk menanamkan nilai-nilai yang mendukung kelas yang berkuasa, dalam hal ini tentu saja Kapitalisme.
Sistem Kapitalisme yang banyak memberikan penekanan pada akumulasi kekayaan dan pertumbuhan ekonomi, dapat menciptakan dan mempertahankan ketidaksetaraan ekonomi yang besar. Individu yang tidak memiliki kemampuan berpikir kritis, tentu saja tidak akan mampu memahami mekanisme di balik sistem ini, yang memungkinkan pemusatan kekayaan dan kekuasaan pada sekelompok kecil individu mampu mempengaruhi ketidaksetaraan sosial dan ekonomi.
Gramsci mengemukakan bahwa lembaga pendidikan adalah salah satu lembaga produksi budaya yang membantu untuk menciptakan dan menyebarluaskan ideologi yang mendukung kelas dominan. Mereka memainkan peran penting dalam menanamkan nilai-nilai kapitalisme, individualisme, dan hierarki sosial dalam pikiran individu. Sekolah dan universitas dapat digunakan untuk mengukuhkan sistem nilai dan norma yang mendukung status quo.
Ketidaksetaraan sosial dan ekonomi yang terjadi saat ini tentu saja karena masyarakat tidak mampu melihat dan memahami bagaimana sistem kapitalis dapat menciptakan ketidaksetaraan yang besar. Mereka mungkin melihat ketidaksetaraan sebagai suatu keniscayaan yang perlu mereka terima dengan lapang dada, atau bahkan tidak menyadari besarnya perbedaan antara ekonomi berdaya dan mana ekonomi kapitalisme. Kemampuan berpikir kritis penting untuk menciptakan kualitas masyarakat yang mampu menggali lebih dalam dan menilai sebab-akibat yang mendasari ketidaksetaraan.
Gramsci memperjuangkan ide pendidikan yang membebaskan, memberikan alat bagi kelas yang tertindas untuk memahami realitas sosial dan berperan aktif dalam perubahan sosial. Dia ingin melihat pendidikan sebagai alat untuk membangun kesadaran kelas yang lebih kuat dan merangsang perubahan sosial yang lebih besar.
Sebagian masyaraat mungkin tidak tahu bahwa mereka memiliki hak untuk hidup layak, hak atas pekerjaan yang layak, hak pendidikan yang baik, dan hak kesehatan yang memadai. Kemampuan berpikir kritis dapat membantu individu untuk memahami dan mempertahankan hak-hak tersebut. Terbatasnya daya nalar yang ditimbulkan oleh sistem pendidikan yang tidak berorientasi pada pemikiran kritis membuat masyarakat kesulitan dalam menghadapi perkembangan sosial dan kultural yang lebih maju.
Gramsci mempertanyakan bagaimana lembaga pendidikan dan kurikulum dipengaruhi oleh kelas yang berkuasa, mengkritik pendekatan tradisional yang hanya mengajarkan pandangan kelas dominan, dan menyarankan perlunya pendekatan pendidikan yang lebih inklusif dan demokratis yang memungkinkan kelas tertindas untuk berkontribusi dalam pembentukan kurikulum.
Apabila di banyak negara Eropa yang sudah maju saja pelajaran Filsafat dimasukkan dalam kurikulum pendidikan formal, lalu mengapa di negara yang ingin mengikiuti kemajuan dari negara-negara tersebut justru belum mencerminkan gairah untuk berkembang sebagaimana negara-negara di barat?
Oleh karena itu, sudah waktunya bagi Indonesia untuk mengadopsi pendekatan pendidikan yang lebih holistik dengan mengintegrasikan kurikulum Filsafat Nalar dan keterampilan berpikir kritis. Ini akan membantu menciptakan masyarakat yang lebih sadar, berdaya dan lebih siap untuk menghadapi perubahan dalam dunia yang semakin kompleks dan kapitalisme yang massif di negara ini. Dengan peningkatan kemampuan berpikir kritis, kita dapat memajukan negara kepada kesejahteraan sosial dan mendukung pembangunan yang berkelanjutan.