Tindakan Manipulasi Kurikulum Sejarah Adalah Cara Kekuasaan Bertahan

Mempromosikan pendidikan sejarah yang kritis dan berpikir kritis adalah langkah penting menuju masyarakat yang lebih terbuka dan demokratis.

Ilustrasi - DN Aidit/Dipa Nusantara Aidit

Sejarah, sebagai cermin masa lalu, memainkan peran sentral dalam membentuk identitas nasional, memahami kebijakan saat ini, dan membentuk pandangan masa depan.

Mengutip dari ungkapan seorang filsuf kelahiran Spanyol, George Santayana, yang pernah mengatakan "Mereka, yang tidak mengingat masa lalu dikutuk untuk mengulanginya." Tulisan ini didedikasikan untuk beberapa pertanyaan terkait kurikulum sejarah yang tidak memuat nama-nama para pejuang Republik ini dalam kurikulum sejarah. Ada nama-nama besar, yang kita tahu dalam sejarah cukup memberikan kontribusi dan pengaruh yang signifikan. Nama-nama seperti Tan Malaka. H.R. Moehammad Mangoendiprojo, Dr. H. Moehammad Jasin, Wikana dan banyak nama lainnya..

Namun, bagaimana sejarah disajikan dalam kurikulum sekolah seringkali sebatas disajikan dengan informasi yang dipilah, dan tidak menunjukan objektivitasnya. Besarnya pengaruh dari para pahlawan yang berjuang di medan tempur, ataupun di lapangan diplomatis dengan pihak kolonial, selayaknya perlu diberikan apresiasi yang tinggi. Nama-nama mereka perlu disajikan dalam catatan-catatan buku sejarah di tingkat sekolah.

Sebagaimana di banyak negara, subjek sejarah dianggap sebagai subjek yang cukup sensitif. informasi yang disajikanpun bersifat linier dengan kekuasaan. Dalam hal ini, materi pelajaran yang diajarkan di sekolah cenderung menutupi fakta dan nilai objektivitas. Mengisi kepala para murid ajar dengan informasi-informasi yang cenderung menguntungkan rezim dan kekuasaan.

Apabila kita mengingat urgensi dari pentingnya mempelajari Sejarah di tingkat sekolah, hal ini berarti pembelajaran sejarah dianggap sebagai cerminan garis kronologis yang harusnya bersifat netral, menyajikan gambaran yang kongkrit tentang masa lalu, dan memuat fakta yang penting untuk didalami dari dimensi sosial ataupun dimensi pembangunan akan peradaban.

Mengikuti fakta-fakta dan peristiwa yang terjadi memiliki tujuan utama untuk mengantisipasi peristiwa serupa kembali terjadi. Namun, ketika kita melihat lebih dalam, kita dapat menemukan pola-pola yang mengindikasikan bahwa sejarah yang diajarkan di sekolah sering kali disesuaikan dengan naratif yang menguntungkan penguasa yang berkuasa. 

Penting untuk diingat bahwa sejarah tidak pernah netral. Setiap narasi yang disajikan memiliki tujuan tertentu, baik itu untuk membangun identitas nasional, membenarkan tindakan politik, atau memperkuat otoritas penguasa demi melanggengkan kekuasaan. Narasi minor, yang dianggap kutu yang mengganggu dimusnahkan dalam narasi-narasi sejarah, seakan nama dan peristiwa yang mengiringinya dilupakan, dan nama-nama mereka dibiarkan hilang dari ingatan orang-orang yang hidup jauh setelahnya

Di banyak negara, khususnya di rezim otoriter atau berorientasi otoriter, sejarah diproses sedemikian rupa sehingga menggambarkan pemerintahan saat ini dalam cahaya yang menguntungkan, bahkan jika itu berarti mengaburkan kebenaran yang tidak menyenangkan atau mengabaikan peran penting dari oposisi.

Dalam banyak kasus, kurikulum sejarah yang disetujui oleh pemerintah dapat dipenuhi dengan naratif yang memuliakan tokoh-tokoh politik yang berkuasa, menutupi kebijakan yang kontroversial, atau bahkan menyensor peristiwa yang tidak sesuai dengan agenda politik yang ada. Sejarah seringkali diubah sedemikian rupa sehingga melukiskan pemerintahan saat ini sebagai pewaris bangsa yang mulia, tanpa menyentuh pada kegagalan atau kebijakan yang dapat mempertanyakan legitimasi mereka.

Salah satu contoh nyata adalah dalam beberapa negara yang diperintah oleh rezim otoriter, seperti Korea Utara atau beberapa negara di Timur Tengah. Di Korea Utara, misalnya, sejarah nasional sangat dipolitisasi dan diarahkan untuk memuja para pemimpin Kim. Di banyak negara di Timur Tengah, sejarah diajarkan dengan fokus pada pencapaian penguasa saat ini, seringkali mengabaikan peran penting gerakan oposisi atau kebebasan sipil dalam perkembangan negara.

Penting untuk dicatat bahwa salah satu alat utama yang digunakan pemerintah untuk mengendalikan naratif sejarah adalah melalui kurikulum sekolah. Di banyak negara, kurikulum sejarah disusun dan diawasi secara ketat oleh pemerintah, yang memungkinkan mereka untuk memilih materi yang diajarkan dan bagaimana itu disajikan.

Ketika kurikulum sejarah dikendalikan oleh pemerintah yang otoriter atau otoritarian, materi yang diajarkan sering kali dipilih untuk mendukung legitimasi rezim, bahkan jika itu berarti mengubah fakta atau mengabaikan kebenaran yang tidak menyenangkan. Sebagai contoh, peristiwa-peristiwa yang mungkin mencerminkan buruknya pemerintahan saat ini atau menyatakan tindakan represifnya sering dihapus atau dimodifikasi dalam kurikulum sekolah.

Pentingnya menyajikan narasi alternatif dalam pembelajaran sejarah tidak bisa diabaikan. Sebuah pendidikan sejarah yang seimbang harus mencakup sudut pandang yang beragam dan memungkinkan siswa untuk mempertimbangkan berbagai sudut pandang. Ini penting bukan hanya untuk memahami masa lalu dengan lebih baik, tetapi juga untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis yang diperlukan untuk menafsirkan informasi dengan benar.

Sebagai contoh, dalam konteks pembelajaran sejarah di Indonesia, banyak yang menyoroti bagaimana kurikulum sejarah secara sistematis memuliakan pemerintahan Soeharto, yang berkuasa selama lebih dari tiga dekade dengan tangan besi. Kritik terhadap kebijakan dan tindakan represifnya sering diabaikan atau dihapus sepenuhnya dari buku teks sejarah. Hal ini menghasilkan generasi yang kurang kritis terhadap sejarah negara mereka dan kurang mampu melihat sisi gelap dari masa lalu mereka.

Ketika sejarah diajarkan secara tendensius untuk mengagungkan rezim yang berkuasa saat ini, ada risiko besar bahwa masyarakat akan menerima versi yang diromantisasi dari sejarah mereka tanpa mempertanyakan atau menganalisis lebih lanjut. Ini bisa memiliki dampak yang sangat negatif pada proses demokratisasi dan perkembangan masyarakat yang berpikir kritis.

Masyarakat yang dibentuk oleh kurikulum sejarah yang diarahkan oleh rezim cenderung mempercayai naratif yang disajikan oleh pemerintah tanpa mengajukan pertanyaan kritis. Mereka mungkin menjadi lebih menerima terhadap tindakan otoriter atau penindasan politik karena mereka tidak memiliki pemahaman yang memadai tentang hak-hak mereka atau sejarah perjuangan untuk mendapatkannya.

Penting juga untuk mencatat bahwa tidak semua sistem pendidikan mewajibkan pengajaran sejarah yang dipolitisasi. Di beberapa negara, ada upaya untuk merevisi kurikulum sejarah agar lebih seimbang dan mencakup berbagai perspektif. Ini termasuk memasukkan bab-bab yang mencerminkan peran gerakan oposisi, pemberontakan rakyat, atau perjuangan untuk hak asasi manusia.

Mempromosikan pendidikan sejarah yang kritis dan berpikir kritis adalah langkah penting menuju masyarakat yang lebih terbuka dan demokratis. Ini melibatkan tidak hanya merevisi kurikulum sekolah, tetapi juga memastikan bahwa guru memiliki kebebasan untuk mengajarkan sejarah dengan cara yang menyeluruh dan tidak bias.

Sejarah yang diajarkan di sekolah sering kali bukanlah gambaran yang netral dari masa lalu, tetapi seringkali diputar dan disesuaikan untuk memenuhi kepentingan politik dan kekuasaan rezim yang berkuasa saat ini. Kurikulum sejarah yang dikendalikan oleh pemerintah dapat menjadi alat doktrinasi yang kuat, memengaruhi cara masyarakat memandang pemerintah mereka dan dunia di sekitar mereka.

Oleh karena itu, penting untuk memperjuangkan pendidikan sejarah yang lebih kritis dan seimbang, yang memungkinkan siswa untuk mempertimbangkan berbagai sudut pandang dan mengembangkan keterampilan berpikir kritis yang diperlukan untuk menafsirkan informasi dengan benar. Hanya dengan cara ini kita dapat mencegah manipulasi sejarah dan memastikan bahwa masyarakat memiliki pemahaman yang lebih baik tentang masa lalu mereka, yang pada gilirannya akan membantu mereka membentuk masa depan yang lebih demokratis dan inklusif.
Taqiyuddin

Taqiyuddin

Seorang penulis lepas yang mencari sudut-sudut kedamaian dalam hidup

1 Komentar

  1. Bajingan Demokrasi26 Juni 2025 pukul 12.46

    Saat ini pemerintah sedang menyusun sejarah resmi. Lalu apakah nantinya fakta sejarah yang sudah beredar nantinya bisa disebut tidak resmi atau ilegal? A*j*ng memang!

    BalasHapus

Rekomendasi Artikel