Akhir Agustus 2025 menjadi momen yang menandai sebuah babak baru dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Di tengah berbagai dinamika politik dan kebijakan publik, Mabes Polri mengumumkan penetapan 959 orang sebagai tersangka terkait demonstrasi yang berujung ricuh. Jumlah ini bukan sekadar angka. Ia memecahkan rekor sejarah penanganan aksi massa di Indonesia, melampaui Malari 1974, Kudatuli 1996, dan Tragedi Tanjung Priok 1984.
Ilustrasi demonstrasi, bagian dari hak sipil dalam demokrasi (source: sumberdayapikiran)Data resmi Polri menunjukkan 664 orang dewasa dan 295 anak berstatus anak yang berhadapan dengan hukum (ABH). Dari 295 anak tersebut, 214 dipulangkan ke orang tua di bawah pengawasan Balai Pemasyarakatan (Bapas), sementara 68 lainnya diproses melalui mekanisme diversi atau restorative justice. Pada pandangan pertama, Polri terlihat menonjolkan aspek perlindungan anak dalam penegakan hukum. Namun, di balik retorika “perlindungan”, muncul pertanyaan mendasar: bagaimana mungkin ratusan anak bisa terlibat dalam demonstrasi yang disebut “ricuh” ini? Apakah ini murni pelanggaran hukum, atau justru cerminan dari rasa frustasi kolektif generasi muda terhadap kebijakan publik yang menyentuh kehidupan mereka?
Polri menyebut para tersangka dijerat dengan pasal perusakan, penghasutan, penganiayaan, pencurian, hingga pasal lain yang dianggap relevan. Barang bukti yang disita juga beragam: bom molotov, handphone, rekaman CCTV, akun media sosial, batu, poster, hingga kendaraan. Dengan daftar bukti ini, framing resmi aparat jelas: demonstrasi telah berubah menjadi tindak kerusuhan. Namun framing semacam ini juga menyisakan bahaya. Ia mengaburkan garis tegas antara protes damai yang dilindungi konstitusi dengan tindakan kriminal yang memang harus ditindak.
Konstitusi Indonesia, melalui Pasal 28E UUD 1945 dan UU Nomor 9 Tahun 1998, secara eksplisit menjamin hak warga untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Hak ini tidak lahir untuk situasi nyaman, melainkan hak ini lahir untuk situasi ketidakpuasan. Demonstrasi adalah mekanisme koreksi yang sah, justru vital bagi demokrasi. Ketika angka penetapan tersangka mencapai hampir seribu orang. Hal yang memantik pertanyan publik berhak “apakah ini bukti meningkatnya kekerasan dalam protes, atau tanda negara makin represif terhadap kebebasan sipil?”
Narasi yang muncul di ruang publik tentang “antek asing” atau “agen CIA” terhadap demonstran juga bukan hal baru. Retorika semacam ini pernah digunakan untuk mendiskreditkan oposisi politik pada era Orde Baru. Dalam narasi itu, orang yang mengkritik negara otomatis dianggap pengkhianat bangsa. Padahal tanpa bukti transparan, tudingan seperti ini berbahaya karena memutarbalikkan isu inti, dimana substansi kebijakan publik yang dikritik. Alih-alih mendengar aspirasi, negara bisa terjebak dalam pola menstigma rakyatnya sendiri.
Lebih problematis lagi, narasi “ada pidana loh kalau merasa tidak puas” yang tersirat dalam cara kasus ini dipresentasikan. Pesan yang sampai ke publik adalah: kritik kebijakan pemerintah berisiko membuat Anda berhadapan dengan hukum pidana. Pesan semacam ini menciptakan efek gentar (chilling effect) yang mengancam kebebasan sipil. Padahal kritik adalah bagian dari loyalitas warga pada negara, bukan ancaman terhadapnya.
Fenomena anak-anak yang terlibat dalam demonstrasi juga perlu dibaca lebih jernih. Ini bukan sekadar masalah “anak-anak melanggar hukum”. Ini bisa menjadi cermin keresahan struktural yang meluas di kalangan generasi muda. Mereka yang tumbuh di tengah ketimpangan ekonomi, kebijakan yang tidak berpihak, dan krisis lingkungan sering kali merasa tidak memiliki saluran aspirasi formal yang efektif. Demonstrasi bagi mereka bukan sekadar aksi jalanan, tetapi wujud eksistensi dan tuntutan keadilan. Menangkap anak-anak ini lalu memprosesnya secara hukum, meski melalui diversi, tetap berisiko menanam stigma jangka panjang. Pendekatan dialogis, edukatif, dan partisipatif jauh lebih sehat bagi demokrasi daripada pendekatan represif.
Kritik tajam di sini bukan berarti membenarkan kekerasan atau tindakan kriminal. Negara memang berkewajiban menindak pelaku vandalisme, penganiayaan, atau perusakan. Tetapi negara juga berkewajiban melindungi hak warga negara yang menyampaikan aspirasi secara damai. Tanpa pembedaan yang jelas, negara berisiko mengkriminalisasi demokrasi itu sendiri. Inilah yang membuat angka 959 tersangka bukan sekadar statistik, melainkan alarm ancaman bagi masa depan demokrasi Indonesia.
Evaluasi kasus ini harus dilakukan secara transparan. Publik berhak mengetahui secara rinci bukti keterlibatan setiap tersangka. Apakah semua mereka benar pelaku kriminal, atau ada yang sekadar peserta demonstrasi damai yang terjaring razia massal? Penegakan hukum yang baik harus dapat diuji oleh publik. Narasi “penegakan hukum” yang terlalu luas tanpa detail rawan menjadi alat pembenaran represif.
Lebih jauh lagi, peristiwa ini mengundang refleksi tentang arah demokrasi Indonesia. Setelah 26 tahun reformasi, apakah kita semakin matang dalam mengelola kritik dan ketidakpuasan publik, atau justru mundur ke pola represif yang dulu kita lawan? Negara seharusnya tidak takut pada protes rakyatnya. Sebab demokrasi bukan hanya soal pemilu lima tahunan, tetapi juga soal kebebasan bersuara setiap hari.
Jadi, kasus 959 tersangka ini bukan semata perkara hukum. Ini adalah cermin tentang bagaimana negara memandang warganya, yakni sebagai mitra dalam membangun kebijakan, atau sebagai ancaman yang harus dibungkam. Jika demokrasi ingin bertahan, negara harus berani menunjukkan bahwa ia melindungi kebebasan berpendapat sekaligus menindak pelaku kekerasan secara proporsional. Tanpa itu, kita hanya memiliki demokrasi prosedural yang penuh ketakutan, bukan demokrasi substantif yang sehat.
Referensi
• Amnesty International Indonesia. (2025). Laporan situasi kebebasan sipil di Indonesia.
• Kompas. (2025, September 24). Polri tetapkan 959 tersangka terkait demonstrasi akhir Agustus.
• Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
• Human Rights Watch. (2024). Protest and freedom of expression in Southeast Asia.