Anarkis Lagi, Anarkis Terus, Kambing Hitam yang Gak Pernah Habis Disalahin.

Heran ya, setiap kali ada demo agak panas, ada pagar yang roboh, ada kaca yang retak, atau ada ban yang kebetulan terbakar, langsung saja judul berita kita hafal di luar kepala: “Aksi Anarkis”. Wartawan yang nulis headline kayak gini seolah lagi main tebak-tebakan tanpa baca kamus atau cari referensi valid. Tidak ada usah cek ulang, tidak ada refleksi dampak, yang penting judulnya bikin klikbait.

Padahal, kalau mereka mau sedikit repot, cukup sedikit saja, dan buka KBBI atau Oxford Dictionary, mereka akan tahu bahwa anarki bukan kekerasan. Anarkis bukan sinonim dari tukang rusuh. Anarkisme bahkan adalah teori politik yang jelas punya sejarah panjang, pemikiran serius, dan tidak serta-merta identik dengan nendang motor orang yang lewat atau lempar molotov. Tapi ya begitu, sok tahu lebih gampang daripada riset.

Kerusuhan yang selalu dinisbatkan sebagai "aksi anarkis", merupakan simplifikasi buta dan budaya peyorasi pada doktrin ideologi (image: bbc.com) 


 Media dan “Copy-Paste Propaganda”

Mari kita jujur, dari banyknya berita soal demo itu sebenarnya sekadar copy-paste dari rilis aparat. Jadi jangan heran kalau kata “anarkis” muncul seenaknya. Karena bagi aparat, simplifikasi adalah senjata: mahasiswa demo = ada dorong-dorongan = rusuh = anarkis. Selesai.

Logika yang malas ini dipungut mentah-mentah oleh wartawan, yang sering kali lebih sibuk ngejar deadline ketimbang ngejar akurasi data dan sumber. Akibatnya, publik dicekoki berita bahwa “anarkis = rusuh”. Lama-lama, itu jadi kebenaran baru, yang dikonsmsi publik sebagai padanan kata. Produksi kebodohan kolektif yang disponsori oleh media dan aparat, lalu diwariskan terus-menerus lintas generasi.

Kelompok Anarki yang sering media salah-pahami degan tindakan kerusuhan (image: itha-iath.org) 


 Jangan Lupa, Siapa yang Sering Jadi Biang Rusuh?

Nah, ini bagian yang jarang disebut. Kadang kala, rusuhnya sebuah aksi justru dipantik oleh “orang dalam”, infiltrasi dari pihak yang punya kepentingan agar aksi terlihat brutal. Intel yang menyusup, provokator bayaran, atau siapa pun yang jelas bukan bagian dari barisan demonstran. Tapi anehnya, begitu rusuh terjadi, yang dicap anarkis tetaplah demonstrannya.

Logika ini sama absurdnya seperti menyalahkan kursi karena ditendang orang. Tapi toh media menulisnya begitu, dan publik menelannya bulat-bulat.

Berbagai motif hadir menjadi sumber kerusuhan, infiltrasi aparat ke barisan aksi massa punya tujuan apa? (image: lambeturah)


 Anarki yang Diseret-seret

Kalau mau jujur, anarki itu kan artinya “tanpa penguasa”. Dari Yunani sampai Oxford, maknanya konsisten, yaitu “keadaan tanpa pemerintahan atau otoritas”. Boleh kita suka atau tidak dengan ideologi itu, tapi jelas-jelas tidak ada satu pun definisi kamus yang menyamakan anarki dengan lempar batu atau bakar ban.

Jadi, ketika wartawan menulis “Aksi Anarkis Mahasiswa”, yang sebenarnya mereka tulis adalah: “Aksi Mahasiswa Tanpa Pemerintahan”. Loh, sejak kapan mahasiswa punya pemerintahan sendiri? Kan absurd. Tapi karena kebodohan kolektif sudah telanjur dinormalisasi, kata itu jadi legit dipakai untuk segala hal yang sifatnya berisik.

Mikhail Bakunin, salah satu tokoh pemikir paling populer di Anarkisme (image: platypus library) 


Penyederhanaan yang Berbahaya

Kata punya kuasa. Ketika media dan aparat terus-menerus menempelkan kata “anarkis” pada kerusuhan, yang terjadi adalah kriminalisasi gagasan. Anarkisme sebagai pemikiran politik jadi tampak tidak lebih dari kekerasan jalanan. Orang yang mencoba bicara soal anarkisme dianggap sama dengan tukang bikin rusuh. Ini bukan sekadar salah kaprah, ini stigmatisasi ideologi.

Dan stigmatisasi itu punya fungsi, yakni membuat publik takut, membuat demonstrasi sah terlihat seperti kejahatan, membuat aparat punya legitimasi penuh untuk represif. Kata-kata dijadikan borgol, bukan sekadar kosakata.

 Lalu, Siapa yang Sebenarnya Anarkis?

Kalau definisi anarki adalah ketiadaan hukum, ketiadaan aturan, ketiadaan akal sehat, maka barangkali justru mereka yang seenaknya memelintir bahasa itulah yang lebih pantas disebut anarkis. Karena apa lagi namanya kalau hukum bahasa diperkosa setiap hari oleh berita-berita setengah jadi?

Jadi, lain kali ketika kita baca headline bombastis tentang “aksi anarkis”, mari merefleksikan diri “siapa sebenarnya yang rusuh? Si demonstran yang teriak di jalan, atau mereka yang memelintir kata untuk kepentingan politik?”

Karena, jangan-jangan, anarki yang sesungguhnya ada di ruang redaksi berita dan kantor aparat, bukan di jalanan para demonstran.

Posting Komentar

Related Posts