Anti Oposisi Pemerintah: Membaca Ulang Langkah Politik PAN dan Golkar dalam Lanskap Demokrasi Indonesia

Dalam dinamika demokrasi Indonesia pasca-reformasi, oposisi seharusnya menjadi pilar penting bagi kontrol kekuasaan. Ia bukan sekadar posisi politik, tetapi fungsi vital untuk menjaga keseimbangan agar pemerintahan tidak melaju tanpa kritik. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan bagaimana oposisi kerap dianggap sebagai jalan buntu yang tidak menguntungkan secara politik. Fenomena ini semakin nyata ketika Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Golongan Karya (Golkar) secara terbuka menyatakan sikap mereka sebagai partai anti oposisi.

Deklarasi ini tentu tidak bisa dipandang remeh. Ia mengirim pesan jelas tentang orientasi politik yang lebih condong pada kalkulasi pragmatis ketimbang visi ideologis. Di permukaan, keputusan itu dapat dibaca sebagai strategi realistis, bahwa berada di lingkar kekuasaan berarti akses terhadap jabatan, program, dan sumber daya negara. Namun, dalam lapisan yang lebih dalam, sikap tersebut memperlihatkan bagaimana politik elektoral kita kerap direduksi menjadi arena transaksional, di mana partai lebih sibuk menjaga stabilitas internal dan finansial ketimbang membangun basis kerakyatan.



Politik Aspiratif atau Kalkulasi Logistik?

Jika dilihat dari perspektif kelembagaan, sikap anti oposisi PAN dan Golkar mengindikasikan sebuah cara berfikir sederhana, berada di luar kekuasaan berarti kehilangan akses sumber daya, sementara berada di dalam kekuasaan menjanjikan kelangsungan hidup politik dan finansial. Dalam kerangka ini, politik dipersempit menjadi soal distribusi kursi dan jatah, bukan lagi soal ideologi atau komitmen moral terhadap rakyat.

Ketika partai politik menolak opsi pembiayaan negara untuk memperkuat kelembagaan mereka, alasan yang kerap muncul adalah menjaga independensi dari intervensi pemerintah. Namun dalam praktiknya, ketergantungan pada sumber pendanaan eksternal justru memperkuat relasi dengan oligarki, patron bisnis, dan kepentingan jangka pendek. Ini melahirkan sebuah pola politik yang lebih mirip pasar kekuasaan ketimbang forum deliberasi demokratis.

Demokrasi dan Representasi Rakyat

Kritik utama terhadap sikap anti oposisi ini bukan sekadar soal manuver elit, melainkan konsekuensinya terhadap kualitas demokrasi. Tanpa oposisi, parlemen kehilangan fungsi kritisnya sebagai penyeimbang eksekutif. Perdebatan publik yang sehat melemah, dan kebijakan pemerintah berjalan tanpa kontrol memadai. Pada titik ini, rakyat kehilangan saluran efektif untuk menyuarakan aspirasi mereka.

Lebih jauh, sikap partai yang mengutamakan posisi aman dalam kekuasaan mengikis makna representasi politik. Legislator dipandang tidak lagi sebagai wakil rakyat yang membawa mandat konstituen, melainkan sekadar pengisi kursi yang mengamankan kebutuhan logistik partai. Politik berubah menjadi instrumen survival finansial, sementara kepentingan rakyat hanya hadir sebagai retorika kampanye.


Politik Pencitraan dan Budaya Buzzer

Fenomena lain yang muncul dari pola ini adalah suburnya budaya pencitraan digital. Ketika partai-partai lebih sibuk menjaga kedekatan dengan kekuasaan, mereka juga cenderung mengandalkan buzzer untuk membangun narasi positif dan meredam kritik publik. Buzzer menjadi alat untuk mengelola opini, bahkan mengkultuskan figur elit politik, alih-alih membuka ruang bagi perdebatan yang sehat.

Dampaknya jelas: demokrasi digital kita semakin rapuh. Kritik publik dianggap ancaman, bukan masukan. Alih-alih memperkuat akuntabilitas, politik pencitraan justru memperlebar jarak antara rakyat dan partai. Dalam kondisi seperti ini, fungsi oposisi semakin tergerus, baik di ruang formal parlemen maupun di ruang publik virtual.


Politik yang Kehilangan Esensinya

Jika kita kembali pada prinsip dasar politik, seharusnya ia adalah wadah memperjuangkan keadilan sosial dan kepentingan rakyat banyak. Namun, dengan sikap anti oposisi, partai justru menempatkan diri dalam posisi yang lebih nyaman: menjadi bagian dari kekuasaan, menikmati stabilitas finansial, dan mengamankan proyek politik jangka pendek.

Paradoksnya, keputusan ini justru berisiko membuat partai kehilangan identitas ideologisnya. PAN yang lahir dari semangat reformasi dan Golkar yang membawa sejarah panjang politik Indonesia, kini sama-sama menegaskan posisi mereka sebagai pendukung kekuasaan tanpa kompromi. Dalam jangka panjang, sikap ini bisa melahirkan apatisme publik terhadap partai politik, karena rakyat merasa aspirasi mereka tidak lagi mendapat ruang.


Antara Oposisi dan Demokrasi

Sikap anti oposisi PAN dan Golkar bukan hanya pilihan strategis, melainkan cerminan krisis yang lebih besar, yaitu krisis visi, krisis ideologi, dan krisis representasi dalam politik Indonesia. Demokrasi yang sehat membutuhkan oposisi yang kuat, bukan sekadar partai-partai yang bersaing untuk berada di lingkar kekuasaan.

Jika oposisi dipandang sebagai beban, maka demokrasi kehilangan salah satu fondasinya. Rakyat hanya menjadi penonton, sementara politik dijalankan oleh segelintir elit yang bertransaksi di ruang tertutup. Kritik publik pun mudah dipinggirkan, karena ruang diskusi digantikan oleh narasi tunggal yang didorong oleh mesin pencitraan.

Dengan demikian, fenomena anti oposisi ini seharusnya menjadi alarm bagi kita semua. Demokrasi tidak bisa hanya diukur dari jumlah partai atau pemilu yang rutin digelar. Demokrasi hidup jika ada perbedaan, kritik, dan keseimbangan kekuasaan. Tanpa itu semua, politik hanya akan menjadi arena pragmatisme, sementara rakyat terus menunggu janji-janji yang tak pernah benar-benar diwujudkan.


Referensi:

• Hadinatha, M. F. (2018). Jejak pragmatisme dalam politik di Indonesia (Era 2009–2017). Kalimah: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, 16(2), 255–274.

• Noor, F. (2018). Pilkada, peran partai dan konstelasi pragmatis: Kajian atas Pilgub Banten, DKI Jakarta, Jateng dan Jatim tahun 2017-2018.

• Ekowati, R. (2019). Pragmatisme politik: Antara koalisi, pencalonan, dan calon tunggal dalam pilkada. Transformative: Journal of Education and Culture, 5(2), 75–89.

• Noor, F. (2015). Perilaku politik pragmatis dalam kehidupan politik. Jurnal Penelitian Politik, 12(1), 1–22.

• DetikNews. (2022a, June 16). PAN setuju tak lagi bersuara seperti oposisi usai Zulhas jadi Mendag. Detik.com.

• DetikNews. (2022b, May 15). Menerka manuver politik Golkar-PAN-PPP di Koalisi Indonesia Bersatu. Detik.com.

• RM.id. (2024, March 5). Kalau semua partai masuk pemerintahan, tanpa oposisi DPR ompong. Rakyat Merdeka.

• Asumsi.co. (2023, October 10). Oposisi rapuh, siapa bakal kontrol pemerintah? Asumsi.co.

• Reuters. (2024, March 20). Indonesia’s Jokowi seeks major party takeover to retain decade-long influence. Reuters.


Posting Komentar

Related Posts