Bangkitnya Soeharto: Dari Kudeta Gagal ke Jalan Orde Baru.

1 Oktober 1965 menjadi titik balik paling dramatis dalam sejarah politik Indonesia. Pada hari itu, Mayor Jenderal Soeharto, Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad), muncul dari balik ketidakpastian sebagai figur yang dengan cepat mengambil kendali. Ketika kabar mengenai pembunuhan tujuh jenderal menyebar, suasana Jakarta dicekam ketakutan. Gerakan 30 September (G30S) yang pada dini hari menguasai Radio Republik Indonesia (RRI) dan Pangkalan Halim Perdanakusuma, terlihat seakan mampu mengguncang fondasi negara. Namun, dalam hitungan jam, panggung berubah. Soeharto bergerak dengan kecepatan yang tak disangka, mengkonsolidasikan pasukan, merebut simpati publik, dan menyulap dirinya menjadi “penyelamat bangsa”.



Siang hingga malam 1 Oktober 1965, pasukan Kostrad berhasil menguasai pusat-pusat vital ibu kot, dari RRI, tempat G30S menyiarkan klaimnya, dan Halim, yang dijadikan markas utama gerakan. Dari sana, kendali operasi perlahan berpindah ke tangan Soeharto. G30S kehilangan arah, terisolasi, dan akhirnya runtuh tanpa perlawanan berarti. Kudeta yang diniatkan untuk melindungi Sukarno dari ancaman Dewan Jenderal justru berbalik menjadi dalih bagi Angkatan Darat untuk merebut posisi dominan.

Namun, yang lebih penting dari manuver militer itu adalah bagaimana Soeharto mengelola narasi. Dalam situasi krisis, fakta sering kali menjadi bahan baku untuk membangun legitimasi. Soeharto tidak hanya menumpas gerakan; ia membingkai G30S sebagai bentuk pengkhianatan yang didalangi Partai Komunis Indonesia (PKI). Narasi ini segera menjadi bahan bakar politik, memobilisasi emosi rakyat, dan menempatkan Angkatan Darat sebagai benteng terakhir republik. Dengan cerdik, Soeharto memanfaatkan rasa takut dan kemarahan publik untuk memperbesar pengaruhnya.

Kritiknya jelas: kudeta itu gagal, tetapi justru kegagalan itulah yang melahirkan Soeharto sebagai pemenang. Banyak pihak mempertanyakan, bagaimana mungkin seorang panglima Kostrad, jabatan yang bukan tertinggi di tubuh Angkatan Darat bisa dengan begitu cepat dan tepat mengendalikan keadaan? Apakah Soeharto memang memiliki insting militer yang brilian, ataukah ia sudah menyiapkan skenario jauh sebelum malam itu? Pertanyaan ini masih menjadi perdebatan panjang, apalagi bila dikaitkan dengan sejumlah analisis yang memperhatikan kemungkinan adanya rekayasa internal.

Dari perspektif politik, keberhasilan Soeharto pada 1 Oktober membuka jalan bagi transformasi besar. Sukarno, presiden karismatik yang selama dua dekade menjadi simbol persatuan, mendadak kehilangan pijakan. Konsep Nasakom runtuh di hadapan kekuatan militer yang berhasil membangun citra sebagai penyelamat bangsa dari ancaman komunisme. Sukarno yang berusaha tetap memposisikan diri sebagai pemimpin tertinggi justru semakin tersisih, karena kendali nyata atas militer dan keamanan beralih ke Soeharto.

Sejarah mencatat bahwa hanya dalam beberapa hari pasca 1 Oktober, Soeharto sudah mengantongi dukungan signifikan di kalangan perwira. Ia tidak hanya menumpas G30S, tetapi juga membangun konsensus di dalam militer bahwa ancaman terbesar bangsa adalah PKI. Dari sinilah lahir legitimasi untuk melancarkan operasi penumpasan yang segera meluas menjadi tragedi kemanusiaan. Narasi “bangkitnya Soeharto” tidak bisa dipisahkan dari gelombang pembantaian massal yang menyusul sesudahnya, karena keberhasilan militer menghancurkan PKI secara politik dan fisik menjadi fondasi kekuasaan Orde Baru.

Dalam hitungan bulan, posisi Soeharto semakin menguat. Maret 1966 menjadi tonggak ketika Sukarno, dalam tekanan politik dan militer, menandatangani Surat Perintah 11 Maret (Supersemar). Dokumen itu, yang kontroversial hingga kini, memberikan kewenangan kepada Soeharto untuk mengambil tindakan demi menjaga keamanan negara. Dengan Supersemar, transisi kekuasaan secara de facto terjadi. Sukarno masih presiden secara formal, tetapi kendali nyata berada di tangan Soeharto.

Apakah semua ini kebetulan? Sulit dipercaya. Sejarah Orde Baru mengajarkan bahwa Soeharto adalah sosok yang sangat piawai memainkan situasi, bukan sekadar perwira yang kebetulan hadir pada momen krisis. Ia mampu membangun narasi tunggal: bahwa tanpa dirinya, bangsa akan jatuh ke dalam jurang komunisme. Dari titik inilah lahir mitos “Soeharto sang penyelamat”, mitos yang dipelihara lewat propaganda selama lebih dari tiga dekade.

Kritik harus diarahkan pada cara kekuasaan lahir dari tragedi. Soeharto tidak hanya bangkit di atas kegagalan G30S, tetapi juga di atas darah ratusan ribu korban yang dibantai atas nama penumpasan komunisme. Ia mengubah sebuah krisis politik menjadi batu loncatan untuk membangun rezim otoriter yang panjang. Sementara itu, Sukarno yang dulu dielu-elukan sebagai “Putra Sang Fajar” tersingkir perlahan, dikurung dalam stigma sebagai presiden yang gagal mengendalikan bangsa.

Humanisasi penting di sini, bangkitnya Soeharto tidak hanya kisah tentang satu jenderal yang memenangkan pertempuran, tetapi juga kisah tentang jutaan rakyat kecil yang harus membayar harga. Setiap langkah konsolidasi kekuasaan Soeharto dibarengi oleh pembungkaman, pemenjaraan, dan penyingkiran terhadap orang-orang yang dianggap berseberangan. Dengan kata lain, lahirnya Orde Baru bukan sekadar transformasi politik; ia adalah transformasi sosial yang merampas suara rakyat.

Bangkitnya Soeharto adalah paradoks sejarah Indonesia. Sebuah kudeta yang gagal justru membuka jalan bagi penguasa baru yang bertahan lebih dari 30 tahun. Soeharto bukan sekadar aktor yang hadir dalam momen genting, melainkan arsitek dari narasi besar yang menyingkirkan Sukarno dan menghancurkan PKI. Ia memanfaatkan krisis untuk menata ulang peta kekuasaan, dengan cara yang efektif namun penuh darah. Pertanyaan yang seharusnya terus kita ajukan adalah: apakah Soeharto benar-benar penyelamat bangsa, ataukah ia hanya memanfaatkan tragedi untuk membangun kerajaan politiknya?

Bangkitnya Soeharto adalah pelajaran pahit bahwa dalam politik, kegagalan satu pihak bisa menjadi kemenangan abadi bagi pihak lain, dan bahwa narasi, lebih dari peluru, sering kali menjadi senjata paling menentukan dalam perebutan kekuasaan.


 Referensi:

1. Crouch, Harold. The Army and Politics in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press, 1978.

2. Roosa, John. Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’État in Indonesia. Madison: University of Wisconsin Press, 2006.

3. Anderson, Benedict R.O’G., and Ruth T. McVey. A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia. Ithaca: Cornell University Modern Indonesia Project, 1971.

4. Cribb, Robert (ed.). The Indonesian Killings 1965–1966: Studies from Java and Bali. Clayton: Monash University, 1990.

5. Hindley, Donald. The Communist Party of Indonesia, 1951–1963. Berkeley: University of California Press, 1964.

6. Vickers, Adrian. A History of Modern Indonesia. Cambridge: Cambridge University Press, 2005.

7. Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Jakarta: Serambi, 2008.

8. Schwarz, Adam. A Nation in Waiting: Indonesia’s Search for Stability. Boulder: Westview Press, 1999.

9. Elson, R.E. Suharto: A Political Biography. Cambridge: Cambridge University Press, 2001.

10. Cribb, Robert, and Audrey Kahin. Historical Dictionary of Indonesia. Lanham: Scarecrow Press, 2004.

1. McGregor, Katharine. “Commemoration of 1965: Violence, Trauma and the Nation.” Asian Studies Review 29, no. 1 (2005): 5–23.

2. Zurbuchen, Mary S. “History, Memory, and the 1965 Mass Killings in Indonesia.” Asian Survey 42, no. 4 (2002): 564–581.

3. Robinson, Geoffrey. “The Killing Season: A History of the Indonesian Massacres, 1965–66.” Journal of Asian Studies (2018).

4. Mortimer, Rex. “Indonesian Communism Under Sukarno: Ideology and Politics, 1959–1965.” Indonesia Journal, Cornell University.


Posting Komentar

Related Posts