Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diluncurkan pemerintah dengan tujuan meningkatkan gizi anak sekolah menjadi salah satu kebijakan paling ambisius di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Dengan menjangkau lebih dari 3,4 juta penerima manfaat di berbagai daerah, program ini digadang-gadang sebagai tonggak penting dalam memerangi stunting, gizi buruk, dan ketidaksetaraan akses pangan bagi anak-anak usia sekolah. Namun, di tengah keberhasilan angka cakupan yang fantastis, muncul pula sejumlah catatan kritis mengenai pelaksanaan program ini, khususnya terkait kasus keracunan massal yang menimpa ratusan siswa.
Ilustasi Menu Makan Bergizi Gratis (source: sumberdayapikiran)Dalam Sidang Kabinet Paripurna pada 5 Mei 2025, Presiden Prabowo menanggapi sorotan publik terhadap insiden keracunan yang terjadi di beberapa titik pelaksanaan MBG. Ia menegaskan bahwa secara proporsional angka kasus keracunan yang dilaporkan, sekitar 200 siswa, sangat kecil dibandingkan dengan total penerima manfaat yang mencapai jutaan orang. Menurutnya, insiden tersebut hanya mewakili sekitar 0,005 persen dari keseluruhan peserta program. Pernyataan ini tampak menekankan keberhasilan program ketimbang menyoroti kelemahan sistemik yang menyertainya. Namun, di balik angka statistik yang impresif itu, pertanyaan mendasar tetap muncul: apakah benar faktor kebiasaan pribadi siswa, seperti tidak mencuci tangan atau tidak menggunakan sendok, menjadi penyebab utama keracunan?
Presiden Prabowo dalam pernyataannya menggarisbawahi faktor budaya dan perilaku sebagai pemicu kasus keracunan. Ia mencontohkan, di beberapa daerah masih banyak anak-anak yang tidak terbiasa makan menggunakan sendok, atau enggan mencuci tangan sebelum makan. Ia bahkan menyebutkan adanya perbedaan toleransi tubuh terhadap jenis makanan tertentu, seperti susu, yang dapat memicu intoleransi laktosa. Kritik utama yang patut diajukan pada narasi ini adalah kecenderungan pemerintah mengalihkan fokus penyebab masalah kepada perilaku individu atau “adat istiadat” masyarakat, alih-alih menyoroti tanggung jawab sistem penyelenggara dalam memastikan standar keamanan pangan. Dalam konteks kebijakan publik, program sebesar MBG bukan hanya menyangkut distribusi makanan, tetapi juga keselamatan, standar mutu, dan tanggung jawab negara untuk mencegah risiko kesehatan.
Pernyataan Presiden yang menekankan bahwa para pekerja dapur MBG telah dibekali alat pelindung diri (APD), seperti tutup kepala, sarung tangan, dan sepatu khusus, menunjukkan adanya kesadaran terhadap standar kebersihan. Namun, pengakuan ini sekaligus menimbulkan pertanyaan lebih jauh: jika standar pengolahan sudah sedemikian ketat, bagaimana mungkin masih terjadi keracunan? Apakah pengawasan dan audit mutu makanan di tingkat lapangan benar-benar berjalan efektif? Di sinilah pentingnya evaluasi menyeluruh, bukan sekadar melihat program ini dari sudut keberhasilan cakupan atau ketertiban protokol di dapur.
Mengaitkan masalah keracunan dengan kebiasaan anak yang tidak mencuci tangan memang terdengar logis pada tataran mikro, tetapi kebijakan publik yang menyasar jutaan anak seharusnya mengantisipasi keragaman perilaku tersebut sejak awal. Jika memang pemerintah menemukan bahwa sebagian besar anak tidak terbiasa menggunakan sendok atau mencuci tangan, mestinya edukasi perilaku dan penyediaan sarana higienitas menjadi bagian integral dari program, bukan sekadar himbauan setelah insiden terjadi. Penyediaan sendok yang disebutkan Presiden sebagai “biaya tidak terlalu mahal” justru menunjukkan bahwa aspek ini belum sepenuhnya diprioritaskan. Dengan kata lain, kebijakan yang berorientasi pada keselamatan anak sekolah harus berangkat dari prinsip pencegahan yang terukur, bukan reaktif setelah masalah muncul.
Dampak dari insiden keracunan, meski secara statistik kecil, tidak bisa dianggap remeh. Setiap anak yang menjadi korban bukan sekadar angka dalam laporan, tetapi individu yang kesehatannya terancam, yang keluarganya cemas, dan yang kepercayaan dirinya terhadap program publik bisa terguncang. Dalam beberapa kasus, keracunan makanan dapat menyebabkan efek jangka panjang pada kondisi fisik maupun psikis anak. Oleh karena itu, pendekatan yang humanis menuntut pemerintah untuk tidak hanya menyampaikan angka keberhasilan, tetapi juga menunjukkan empati mendalam, transparansi investigasi, serta perbaikan sistem yang konkret.
Evaluasi menyeluruh terhadap program MBG seharusnya tidak berhenti pada faktor “kebiasaan masyarakat.” Faktor logistik, distribusi, pengawasan kualitas bahan makanan, hingga kompetensi tenaga penyaji juga perlu ditinjau secara kritis. Program besar dengan jaringan distribusi yang kompleks rentan terhadap berbagai celah, mulai dari penyimpanan bahan makanan yang tidak sesuai standar, keterlambatan pengiriman yang mengurangi kesegaran makanan, hingga minimnya pelatihan teknis bagi petugas lapangan. Sering kali, insiden yang tampak sederhana seperti “keracunan” adalah puncak gunung es dari sistem pengawasan yang belum optimal.
Dalam konteks kebijakan publik, kesuksesan sebuah program tidak hanya diukur dari skala cakupan, melainkan juga dari kualitas pelaksanaan dan minimnya risiko bagi penerima manfaat. Klaim keberhasilan 99,99 persen bisa saja benar secara matematis, tetapi tidak cukup menjawab tuntutan akuntabilitas publik. Dalam pelayanan publik yang menyangkut keselamatan anak-anak, toleransi terhadap kegagalan bahkan yang persentasenya kecil sekalipun seharusnya mendekati nol.
Selain itu, narasi keberhasilan program MBG yang disandingkan dengan apresiasi tokoh dunia seperti Bill Gates memang memberikan kesan positif di panggung internasional. Namun, kebanggaan semacam ini tidak boleh mengaburkan masalah nyata di lapangan. Dukungan internasional atau kunjungan pejabat asing seharusnya menjadi pemacu untuk memperbaiki standar program, bukan sekadar pencitraan. Justru insiden-insiden seperti keracunan inilah yang harus menjadi momentum evaluasi mendalam agar Indonesia tidak hanya dipuji karena gagasan besar, tetapi juga dihormati karena kualitas implementasi kebijakannya.
Program MBG memang layak diapresiasi sebagai langkah progresif pemerintah dalam mengatasi masalah gizi anak sekolah. Namun, apresiasi itu tidak boleh menghalangi kritik yang konstruktif dan tajam. Dalam kasus ini, kritik penting diarahkan pada kecenderungan pemerintah untuk menjadikan perilaku individu sebagai kambing hitam, alih-alih memeriksa dan memperbaiki aspek struktural penyelenggaraan program. Dengan menempatkan keselamatan anak sebagai prioritas utama, program MBG bisa berkembang menjadi kebijakan yang bukan hanya besar secara kuantitatif, tetapi juga unggul secara kualitas dan keamanan.
Kesimpulannya, keberhasilan MBG tidak semata-mata terletak pada angka cakupan atau apresiasi internasional, melainkan pada komitmen pemerintah untuk menjamin bahwa setiap anak yang menerima manfaatnya terlindungi dari risiko kesehatan. Program sebesar ini menuntut standar pengawasan yang ketat, edukasi perilaku yang terintegrasi, penyediaan sarana pendukung yang memadai, dan mekanisme evaluasi yang transparan. Dengan pendekatan yang lebih humanis dan sistemik, pemerintah dapat memastikan bahwa visi besar pemberian makanan bergizi benar-benar menjadi jaminan keselamatan, bukan sekadar angka keberhasilan di atas kertas.
Referensi
• BBC News Indonesia. (2025). Prabowo sebut faktor budaya penyebab keracunan siswa program MBG.
• Kompas. (2025). Program makan bergizi gratis: Keberhasilan dan tantangan di lapangan.
• UNICEF. (2024). Food safety and school feeding programs: Lessons learned.
• World Health Organization. (2023). Foodborne diseases and children’s health risks.