Di tengah sorak-sorai penonton yang hendak menyaksikan film, layar bioskop mendadak menayangkan video capaian pemerintahan Prabowo Subianto. Paparan data produksi beras, program Makan Bergizi Gratis, hingga koperasi desa disuguhkan secara masif. Bagi sebagian orang, video ini terasa seperti “newsreel” klasik, dimana film berita gaya lama yang sering digunakan pemerintah untuk mengabarkan pembangunan atau bahkan propaganda ketika sedang menghadapi krisis.
Bagi publik, fenomena ini berimplikasi pada pertanyaan publik, tentang "mengapa ruang hiburan intim seperti bioskop dijadikan arena komunikasi politik? Bukankah layar lebar selama ini adalah tempat eskapisme, atau ruang budaya populer tempat orang mencari hiburan, bukan tempat diguyur pesan negara?"
Bioskop Sebagai Ruang Publik yang Disusupi Agenda Politik
Secara sosiologis, bioskop bukan hanya ruang komersial-hiburan. Ia adalah ruang publik di mana individu-individu asing berbagi pengalaman bersama, merasa intim dalam gelapnya ruang, namun tetap bebas dari intervensi eksternal. Jurgen Habermas menekankan pentingnya ruang publik sebagai arena diskursif, tempat warga mendiskusikan ide secara setara dan bebas dari dominasi kekuasaan.
Dalam kasus ini, ruang publik yang seharusnya netral justru dipenetrasi klaim sepihak negara. Pierre Bourdieu pernah menyebut media dan budaya sebagai arena perebutan kuasa, di mana modal politik, ekonomi, dan simbolik saling berkelindan. Layar bioskop, dalam konteks ini, berubah menjadi instrumen pengais legitimasi, jika bukan alat propaganda negara. Amnesty International bahkan menilai fenomena semacam ini menyerupai pola indoktrinasi ala rezim otoriter.
Resistensi Publik, dari Meme hingga Aksi Kolektif
Yang terjadi setelahnya menarik: publik tidak tinggal diam. Media sosial menjadi arena resistensi kultural. Warganet mengunggah meme, membuat komentar satir, bahkan mengajak datang ke bioskop 15 menit terlambat untuk menghindari video propaganda. Dalam kerangka James C. Scott, fenomena ini disebut “everyday resistance”, perlawanan sehari-hari yang tidak frontal, tetapi strategis, seperti menghindar, menunda, bahkan menertawakan.
Guy Debord menyebut praktik seperti ini sebagai détournement, atau membalik makna pesan dominan sehingga menjadi lelucon yang melemahkan otoritasnya. Publik tidak sekadar menolak pesan negara, tetapi juga membajak narasinya, menjadikannya bahan tertawaan massal. Fenomena ini sekaligus menjadi bentuk cultural jamming, atau praktik kreatif yang membalik citra sukses yang coba dibangun negara menjadi tanda kegagalan komunikasi.
Mengapa Resistensi Ini Menguat?
Jawabannya terletak pada pengalaman personal. Menonton film di bioskop adalah ritual intim sekaligus kolektif. Kita rela membayar tiket untuk menyaksikan cerita di layar lebar, bukan untuk menjadi audiens propaganda. Ketika negara hadir secara paksa (forced intimacy), publik merasa dicegat di ruang privatnya.
John Fiske, pakar studi media, menegaskan bahwa audiens bukan penerima pasif. Mereka selalu menegosiasi, menggugat, bahkan mengubah makna sebuah teks. Resistensi yang muncul terhadap iklan negara ini adalah bukti nyata: layar yang coba dihardik negara tidak serta-merta menundukkan warga, tetapi justru memantik perlawanan.
Propaganda Adalah Strategi yang Usang di Era Digital
Propaganda yang dipaksakan di ruang hiburan hanya menegaskan jauhnya jarak imajinasi pemerintah dengan atensi warganya. Publik yang kritis segera mengontraskan klaim negara dengan fakta lapangan. Di tengah rapuhnya kepercayaan publik pada institusi kekuasaan, strategi pencitraan “hard selling” di ruang budaya populer justru memperdalam sinisme.
Orang datang ke bioskop bukan untuk menyimak data capaian, melainkan untuk menikmati film. Memaksakan propaganda di ruang itu menunjukkan bahwa negara masih mengandalkan metode komunikasi politik ala Orde Baru di era keterbukaan digital. “The medium is the message,” kata Marshall McLuhan. Kini, medium itu justru memantulkan balik pesan negara, melahirkan efek bumerang.
Penolakan publik terhadap iklan negara di bioskop harusnya menjadi alarm evaluasi, bukan malah divalidasi dengan argumen transparansi. Kepercayaan publik tidak lahir dari tontonan statistik yang dipaksakan, melainkan dari keterlibatan warga dalam proses partisipatif.
Jika penyelenggara negara ingin meyakinkan publik, caranya bukan dengan menyusupi ruang budaya populer, melainkan dengan dialog terbuka. Di era digital, warga bukan lagi massa pasif yang mudah diarahkan, tetapi komunitas kritis yang punya kanal untuk bersuara. Memahami kenyataan ini adalah langkah awal bagi negara untuk merumuskan komunikasi publik yang lebih etis, transparan, dan partisipatif.
Antara Citra, Cinta dan Kepercayaan Publik
Strategi pencitraan di bioskop mengungkap jarak yang makin lebar antara pemerintah dan warganya. Alih-alih membangun kedekatan emosional, ia justru melahirkan rasa terganggu, sinisme, dan resistensi kultural yang diperkuat media sosial. Pada akhirnya, kepercayaan publik tidak bisa dibeli dengan iklan megah atau video capaian. Ia hanya bisa diraih melalui keterlibatan, transparansi, dan komunikasi dua arah.
Menggunakan ruang budaya populer untuk kepentingan kekuasaan tanpa kesadaran etis hanya akan mempercepat erosi legitimasi. Publik sudah berubah; pemerintah harus ikut berubah bila tidak ingin kehilangan kepercayaan yang tersisa.
Referensi:
Habermas, J. (1989). The Structural Transformation of the Public Sphere
Bourdieu, P. (1993). The Field of Cultural Production
Scott, J.C. (1985). Weapons of the Weak: Everyday Forms of Peasant Resistance
Debord, G. (1967). The Society of the Spectacle
Fiske, J. (1987). Television Culture
McLuhan, M. (1964). Understanding Media: The Extensions of Man
Amnesty International. (2024). Propaganda and Cultural Spaces