Insiden

Sebuah Cerpen Karya Abdul Turgenev

Sebuah cerita sejarah ditemukan seorang pelancong dengan tulisan yang hampir tak terbaca. Pelan-pelan, secara pemasaran pelancong membuka lembaran pertama...



Sore, musim panas, abad pergantian. 


Kapal itu tenggelam pelan dengan keanggunan suci yang menyakitkan. Hampir tak ada teriakan, hanya desah kayu yang menyerah pada hukum retak yang tak tertulis. Retakan-retakan kecil di lambung bukan warisan badai, melainkan dari perjamuan panjang yang terlalu sering diulang: kasur empuk, piring yang selalu penuh, dan tepuk tangan yang tanpa malu diberikan kepada kebohongan yang diajarkan duduk manis.


"Bagaimana bisa terjadi," teriak Nahkoda.


Kawanan tikus lebih dulu lenyap sebelum air menyentuh lantai dasar. Tubuh-tubuh kecil itu hilang tanpa jejak, meninggalkan kabin-kabin kosong yang dulu berisi peta, cita-cita, dan angan yang dilipat rapi. Di atas geladak, senja meregang di antara pilar dan tali layar; tak ada yang berubah, bahkan ketika keindahan mulai berbau asin. Laut tak menolak kapal yang tenggelam—ia hanya membuka ruang, sebagaimana kekasih yang diam-diam tahu, namun tetap menyediakan pelukan.


"Lihat mereka... Lihat yang menertawakan masa depan," kata seorang pemuda di antara dermaga.


Di kejauhan, dari dermaga yang basah oleh waktu, ribuan anak muda berdiri menyaksikan karam yang belum mereka mengerti. Di tangan mereka, layar-layar kecil menyala, menawarkan kehangatan palsu bagi sejarah yang beku. Tak satu pun melangkah ke air. Bukan karena takut, tapi karena insiden telah disulap menjadi tontonan—mungkin terlalu estetis untuk dihentikan, atau terlalu rapi untuk dibantah. Ya, mereka menunggu sesuatu yang tak mereka kenal: ilham yang selalu datang sesudah semuanya terlanjur.


"Sebaiknya tenang, cukup waktu yang memberikan jawaban," teriak seorang pemuda lainnya.


Laut menyelesaikan pertunjukannya dengan pelan. Kapal tenggelam, sejarah kebanggaan tenggelam, rahasia yang dijaga dengan diam tenggelam. Di atas permukaan, senja tetap berdiri, warna terakhir belum juga bisa ditenggelamkan. Anak-anak muda masih berdiri, kakinya tertanam pada tanah yang perlahan retak. Tidak ada suara. Hanya cahaya, dan sejenis kehilangan yang terlalu sopan untuk berubah menjadi air mata dan kehormatan.


Pelancong diam. Menutup naskah lembut. Tanpa bicara. Ia menggelengkan kepala.

Posting Komentar

Related Posts