Kebimbangan Mahasiswa, Organisasi Mahasiwa Ekstra, dan Politik Pecah Belah

Dalam dinamika politik Indonesia, organisasi ekstra kampus seperti HMI, PMII, dan GMNI seharusnya menjadi wadah kaderisasi intelektual dan penguatan sipil. Namun, kenyataan sering menunjukkan bahwa keberadaan organisasi-organisasi ini justru difungsikan sebagai kompetitor yang saling berhadapan, sehingga potensi persatuan mahasiswa melemah. Alih-alih melahirkan solidaritas sipil yang kuat, mereka diarahkan untuk menjadi bagian dari “garis koordinasi” politik yang berujung pada ketergantungan terhadap sumber pendanaan dari atas.



Kondisi ini menciptakan pola relasi yang timpang, dimana kader-kader baru digiring pada pengkultusan tokoh, sementara elite di atas memanfaatkan ketergantungan ekonomi itu untuk melanggengkan posisi mereka. Mahasiswa yang seharusnya menjadi motor perubahan justru direduksi menjadi pion di papan catur politik. Dengan cara ini, ruang sipil mengalami pecah belah internal. Esensi persatuan, yang mestinya mutlak dijalankan demi memperkuat posisi rakyat di hadapan kekuasaan, jadi terkikis oleh kompetisi buatan yang dibentuk dari atas.

Jika seluruh organisasi mahasiswa ekstra kampus benar-benar bersatu, oposisi terhadap kekuasaan akan menjadi keniscayaan. Persatuan itu akan membuka pintu bagi transparansi total dan kontrol kebijakan yang lebih kuat di tangan rakyat. Dalam kondisi semacam itu, ruang untuk praktik korupsi, kolusi, skandal, dan nepotisme akan semakin sempit. Justru karena alasan inilah, pecah belah sipil dipelihara, supaya tidak ada kekuatan sipil tunggal yang mampu mengawasi dan menuntut akuntabilitas kekuasaan.

Lebih jauh, skema “kompetisi” antarormek bukan sekadar soal rivalitas mahasiswa, melainkan strategi politik jangka panjang. Mahasiswa diarahkan agar selalu memiliki lawan tanding internal, sehingga energi kritis mereka terserap untuk adu wacana dan konflik horizontal. Dengan begitu, suara mahasiswa yang mestinya menyuarakan kepentingan rakyat malah terdistraksi. Oposisi yang kuat dan konsisten terhadap praktik kekuasaan yang menyimpang tidak pernah bisa terbentuk secara solid.

Inilah mengapa kita perlu menyadari bahwa bermain di papan catur yang sudah diatur sedemikian rupa hanya akan memperpanjang usia kekuasaan yang tidak transparan. Mahasiswa dan organisasi sipil harus menolak untuk sekadar menjadi bagian dari mekanisme pecah belah itu. Kemandirian gerakan, persatuan lintas organisasi, dan orientasi pada kepentingan rakyat adalah kunci agar peran mahasiswa kembali pada jalurnya: menjadi oposisi moral yang mengawal demokrasi, bukan pengiring recusan.

Referensi:

 Budiman, A. (2011). Gerakan mahasiswa dan politik Indonesia pasca-Suharto. Jurnal Prisma, 30(2), 23–41.

 Hadiz, V. R. (2010). Localising power in post-authoritarian Indonesia: A Southeast Asia perspective. Stanford University Press.

 Mietzner, M. (2013). Fighting the hellhounds: Pro-democracy activists and party politics in post-Suharto Indonesia. Journal of Contemporary Asia, 43(1), 28–50.

 Tempo. (2022, 7 Mei). Rivalitas organisasi mahasiswa, benarkah memecah belah gerakan sipil? Tempo.co.

 Kompas. (2023, 14 Maret). Ormas mahasiswa dihadapkan pada tantangan independensi politik. Kompas.id.

 Tirto. (2021, 8 Oktober). Gerakan mahasiswa dan politik oligarki: Antara oposisi dan kooptasi. Tirto.id.


Posting Komentar

Related Posts