Antisains bukanlah fenomena baru. Selama lebih dari satu abad, propaganda antisains telah menjadi senjata favorit rezim otoriter untuk mengontrol masyarakat. Stalin, misalnya, pernah memenjarakan fisikawan, menyerang genetikus, dan mempromosikan gagasan pertanian tak masuk akal dari Trofim Lysenko. Lysenko meyakini bahwa gen hanyalah “invensi borjuis.” Kebijakan ini tidak hanya menghancurkan integritas ilmiah Uni Soviet, tetapi juga menyebabkan kelaparan massal yang merenggut jutaan nyawa di Uni Soviet dan Tiongkok. Sejarah ini memperlihatkan betapa antisains bukan sekadar serangan terhadap teori atau penelitian, melainkan serangan langsung terhadap kehidupan manusia itu sendiri.
Peter J. Hotez, seorang profesor yang menjabarkan permasalahan serius dalam gerakan antisains, dalam bukunya yang berjudul "The Deadly Rise of Antisains" (image: sumberdayapikiran)Mengapa rezim otoriter begitu terobsesi menyerang sains? Karena metode ilmiah adalah instrumen paling andal yang dimiliki manusia untuk memahami alam semesta dan menemukan kebenaran. Ilmuwan secara umum dianggap otoritatif, memiliki pengetahuan tinggi, integritas, dan imparsialitas. Dengan mendiskreditkan sains, penguasa bukan hanya melemahkan kepercayaan publik pada ilmu pengetahuan, tetapi juga menghancurkan fondasi kebenaran, rasionalitas, dan pembelajaran kritis yang menopang masyarakat. Inilah langkah pertama bagi rezim untuk menguasai wacana publik dan mematikan oposisi.
Fenomena yang sama berulang dalam konteks kontemporer. Mann dan Hotez menunjukkan bahwa pola propaganda antisains terkait COVID-19 mengikuti jalur yang sama dengan kampanye penyangkalan perubahan iklim, hanya dalam tempo lebih cepat. Tahap awalnya adalah menyangkal ancaman. Ketika fakta tak lagi bisa disangkal, narasi bergeser: “Ya, ini terjadi, mungkin akan parah bagi sebagian orang, tetapi kita tidak boleh mengambil tindakan kolektif karena itu buruk bagi ekonomi.” Di tahap terakhir, ketakutan masyarakat dimanipulasi, dengan delik ilmuwan dituduh hendak merampas kebebasan individu, baik kebebasan tubuh dan interaksi sosial dalam konteks COVID-19, maupun kebebasan menikmati sedotan plastik, burger, atau SUV dalam konteks perubahan iklim.
Taktik ini terbukti efektif. Misinformasi dan disinformasi tidak hanya membuat publik salah memahami tingkat keseriusan ancaman, tetapi juga menumbuhkan rasa putus asa yang melumpuhkan kemauan untuk bertindak. Lebih jauh, strategi ini menanamkan perpecahan sosial yang menghalangi aksi kolektif, padahal masalah-masalah besar seperti krisis iklim dan pandemi hanya bisa diatasi melalui kolaborasi global. Mann dan Hotez dengan gamblang menyimpulkan bahwa masa depan umat manusia dan kesehatan planet kini bergantung pada kemampuan kita untuk melampaui “kekuatan gelap” antisains.
Mengapa para plutokrat, politisi, dan pencemar lingkungan begitu gigih melemahkan sains dan ilmuwan, menyebarkan kebohongan, dan memicu kebencian publik terhadap mereka? Jawabannya sederhana dan klasik, yakni godaan uang dan kekuasaan. Dengan menghancurkan kredibilitas sains, mereka dapat menghalangi regulasi yang merugikan bisnis mereka. Bagi para penguasa ini, misinformasi bukan hanya alat politik, tetapi juga investasi yang menjaga status quo. Yang lebih menyedihkan, strategi ini begitu banal, sangat sistematis namun terasa biasa dalam praktik politik modern.
Di satu sisi, buku Science Under Siege tidak bisa menghindari kesan “berkhotbah pada yang sudah percaya.” Mann dan Hotez memang berbicara pada audiens yang sudah skeptis terhadap antisains. Namun kemarahan mereka beralasan, karena mereka sendiri telah menjadi target serangan daring, ancaman kematian, dan tekanan politik akibat komitmen mereka pada ilmu pengetahuan publik. Meski demikian, mereka tetap berupaya mengubah frustrasi menjadi seruan moral untuk bertindak, bukan sekadar keluhan.
Seruan itu sederhana tetapi mendesak dengan cara terbaik, meski bukan satu-satunya, untuk mengubah keadaan adalah melalui jalur politik. Mereka menekankan pentingnya pemilih mendukung legislasi dan pemimpin yang berpihak pada rakyat, bukan pada plutokrat. Hanya perubahan politik yang dapat memutus siklus antisains, regulasi longgar, dan kerusakan lingkungan. Namun mereka juga mengakui kenyataan pahit bahwa pemimpin saat ini sering kali menolak keberadaan “masalah sistemik” itu sendiri, sehingga masa depan tampak suram jika tidak ada mobilisasi besar.
Antisains di lapangan bukan sekadar wacana akademik, melainkan ancaman nyata terhadap kehidupan dan demokrasi. Ia adalah alat lama dengan wajah baru yang digunakan untuk mempertahankan kekuasaan dan kekayaan segelintir orang. Namun sejarah juga mengajarkan bahwa strategi ini bisa dilawan. Demokrasi yang sehat, literasi publik yang tinggi, media yang bertanggung jawab, dan keberanian komunitas ilmiah untuk berkomunikasi dengan jelas adalah fondasi perlawanan terhadap antisains. Jika tidak, krisis iklim, pandemi, dan misinformasi akan menjadi kombinasi sempurna yang membawa kita pada kemunduran peradaban.
Dalam konteks Indonesia, refleksi ini relevan. Dengan demokrasi yang masih muda dan ekosistem informasi yang rentan, ancaman propaganda antisains tidak boleh diremehkan. Dari kebijakan kesehatan publik hingga isu lingkungan, kita memerlukan keberanian politik dan kesadaran masyarakat untuk menolak manipulasi data, narasi palsu, dan kepentingan sempit yang dibungkus sebagai “kebenaran alternatif.” Tanpa itu, kita akan mengulangi sejarah yang telah membuktikan betapa mahalnya harga propaganda antisains.
Referensi
• Mann, M. & Hotez, P. (2024). Science Under Siege.
• Oreskes, N., & Conway, E. (2010). Merchants of Doubt.
• IPCC. (2022). Climate Change and Health.
• World Health Organization. (2023). Vaccination and Public Health.
• Sismondo, S. (2021). Misinformation and Democracy.