Media sosial kini bukan sekadar kanal komunikasi, ia kini telah berubah menjadi medan pertarungan politik yang sangat strategis. Dalam Pemilu 2009, penggunaan internet dalam kampanye masih terbatas, pesan politik lebih banyak disampaikan lewat media massa tradisional seperti televisi, radio, dan koran. Namun memasuki Pemilu 2014, kampanye digital mulai tampak menonjol, di mana partai dan calon mulai memanfaatkan Facebook, Twitter, dan YouTube secara massif untuk menjangkau pemilih muda (Abdillah, 2014). Penelitian terhadap “IT-based social media impacts on Indonesian legislative elections 2014” menunjukkan bahwa partai yang aktif di media sosial cenderung memperoleh keunggulan dalam hasil pemungutan suara (Abdillah, 2014).
Ilustrasi dampak media sosial dalam mempengaruhi pilihan politik dari audiens (source: pinterest)
Memasuki Pemilu 2019 dan kini jelang Pemilu 2024/2029, intensitas dan kompleksitas penerapan kampanye digital meningkat secara eksponensial. Platform seperti Instagram, TikTok, dan tool komunikasi seperti WhatsApp, serta ekosistem buzzer, influencer, dan video pendek menjadi bagian tak terpisahkan dari strategi politik modern. Media sosial menawarkan keuntungan dibanding media konvensional, yakni interaktivitas waktu nyata, viralitas, personalisasi pesan (micro-targeting), serta kemampuan menyebarkan narasi dan framing secara cepat dan masif. Sebaliknya, media tradisional tetap punya posisi kuat di segmen audiens lebih tua dan di wilayah terpencil dengan akses internet terbatas. Namun, media tradisional cenderung satu arah dan lamban menanggapi dinamika isu, sementara media sosial memberikan ruang untuk debat, reaksi publik, dan mobilisasi digital.
Strategi Kampanye Digital Lewat Influencer, Buzzer, dan Algoritma
Salah satu strategi paling menonjol dalam kampanye digital adalah pemanfaatan influencer dan buzzer. Influencer memiliki jaringan followers yang bisa jadi panggung untuk menyebarkan narasi kampanye dengan citra lebih ringan, personal, dan menarik. Buzzer, dalam skala yang lebih sistematis, dikerahkan sebagai “amplifier” konten kampanye, kadang tanpa label resmi partai. Menurut kajian The Industry of Political Buzzing in Indonesia, buzzer kerap menyebar konten provokatif, termasuk hoaks, demi mempengaruhi opini publik (KAS, 2023). Buzzer bisa meluncurkan narasi negatif untuk menyerang lawan secara karakter, atau unggahan ringan yang gampang viral demi memperkuat brand kandidat.
Algoritma platform menjadi jantung dari dinamika viralitas. Konten provokatif, kontroversial atau negatif lebih mudah memicu engagement (komentar, like, share), sehingga algoritma cenderung mengutamakan penyebaran konten semacam ini. Hasilnya, narasi negatif sering kali “mengalahkan” konten substansi atau kampanye positif yang lebih kompleks. Dalam konteks Indonesia, penyebaran disinformasi dan konten provokatif di media sosial terbukti menjadi senjata efektif dalam menyerang calon. Studi “Social media and disinformation for candidates” menunjukkan bahwa pada pilpres 2024, media sosial sangat signifikan dalam menyebarkan disinformasi terhadap kandidat, terutama lewat video dan teks di platform seperti Facebook, YouTube, dan TikTok (Subekti et al., 2025).
Perubahan Peta Elektoral Sebagai Dampak Media Sosial terhadap Basis Dukungan
Media sosial tak hanya menguatkan kampanye, tapi juga mampu menggeser peta dukungan di wilayah yang selama ini dianggap “kokoh” sebagai basis. Misalnya, survei dan riset lapangan menunjukkan bahwa pemilih muda dan swing voters sangat rentan terhadap narasi viral serta framing media sosial. Studi “Analisis Narasi Kampanye Digital dalam Membentuk Efikasi Politik Pemuda” menjelaskan bagaimana narasi kampanye digital mempengaruhi kepercayaan diri (self-efficacy) pemuda dalam terlibat politik, sekaligus mempengaruhi preferensi politik mereka (Analisis Narasi, 2025). Ketika pemilih muda belum “terikat” secara emosional pada partai, narasi viral, endorsement influencer, dan framing gaya visual bisa menggoyahkan dukungan lama.
Contoh historis pun muncul: kampanye 2019GantiPresiden menjadi viral di Twitter dan platform lain, memicu perdebatan publik dan menggerakkan mobilisasi digital yang memperlihatkan adanya fragmentasi dukungan terhadap pemerintah lama (Wikipedia, 2024). Perubahan semacam itu menunjukkan bahwa media sosial bisa membuat basis dukungan tidak lagi aman: kemampuan untuk mempengaruhi opini di media sosial bisa berpotensi mereduksi “soliditas” daerah basis tradisional. Swing voters pun menjadi target utama kampanye digital, sebab mereka belum memutuskan pilihan dan lebih terbuka terhadap narasi yang viral dan emosional dibanding kampanye substansi panjang.
Menyelaraskan Kebebasan dan Kepastian Hukum
Tantangan regulasi kampanye digital di Indonesia sangat kompleks. Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU ITE dirancang sebelum ledakan media sosial saat ini, sehingga aturan kampanye digital masih dianggap kurang spesifik. Menurut kajian Quo Vadis Regulasi Kampanye Partai Politik di Media Sosial, media sosial yang tidak terkendali dan algoritma yang muncul kapan saja bahkan di masa tenang pemilu bisa menjadi bentuk pelanggaran kampanye (Muhyusril, 2024). Bawaslu, misalnya, telah memperingatkan tentang munculnya kampanye terselubung di media sosial selama masa tenang, yang sulit dikontrol (Bawaslu, 2019 dalam Muhyusril, 2024).
Permasalahan lain: hoaks, micro-targeting, dan manipulasi opini publik. Konten yang disesuaikan untuk segmen demografis tertentu (micro-targeting) bisa menyampaikan pesan berbeda ke kelompok berbeda tanpa transparansi. Disinformasi yang disebar lewat jaringan buzzer sangat sulit dilacak. Penelitian Shaping democracy in Indonesia menyebut bahwa aktivitas media sosial dan partisipasi publik saling mempengaruhi engagement demokrasi namun peningkatan polarisasi dan misinformation menjadi hambatan utama (Hudha et al., 2025). Sehingga regulasi harus mampu mengatur transparansi iklan digital, pengungkapan sumber kampanye, penanggulangan konten hoaks, dan akuntabilitas platform.
Membaca Literasi Digital & Partisipasi Warga sebagai Penangkal
Dalam ekosistem media sosial yang sangat dinamis, literasi digital menjadi kunci agar warga tidak hanya menjadi konsumen pasif narasi kampanye, melainkan menjadi partisipan kritis. Meta-analisis Social Media’s Influence on Political Participation menunjukkan bahwa media sosial memang dapat meningkatkan partisipasi politik, tapi efektivitasnya sangat bergantung pada konteks, edukasi, dan kesiapan warga (Kurniawan et al., 2023). Artinya, tanpa literasi media yang memadai, warga mudah terjebak dalam bubble information, hoaks, atau framing manipulatif.
Komunitas, NGO, kelompok akar rumput bisa menjadi garda depan literasi digital. Dengan program workshop, kelas media kritis, proyek fact-checking lokal, dan kolaborasi dengan sekolah, mereka dapat menanamkan kebiasaan skeptis sehat terhadap informasi. Selain itu, gerakan seperti Kawal Pemilu menjadi contoh konkret bagaimana media sosial bisa dipakai untuk memverifikasi hasil pemilu, meningkatkan transparansi, dan meminimalisir kecurangan (Time, 2014). Ketika warga aktif, kritis, dan bersolidaritas dalam mediasi informasi, ruang publik digital akan makin sehat.
Media sosial telah mengubah aturan main politik di Indonesia. Ia bukan hanya kanal, tapi arena utama di mana opini terbentuk, dukungan digerakkan, dan kampanye dijalankan. Namun, kekuatan besar ini datang dengan risiko besar: konflik regulasi, disinformasi, dan ketidaksetaraan akses. Untuk menjaga demokrasi tetap sehat, strategi kampanye digital harus disertai regulasi tegas dan memperkuat literasi digital publik. Di sinilah ujian sejati: apakah politik media sosial akan menjadi demokrasi yang makin inklusif atau justru menihilkan suara kritis dan pluralitas.
Referensi:
• Abdillah, L. A. (2014). IT based social media impacts on Indonesian general legislative elections 2014. arXiv.
• Cobis, M. Y. (2023). Social Media as A Political Space in The Digital Age. Perspektif.
• Hudha, C., et al. (2025). Shaping democracy in Indonesia: The influence of multicultural attitudes, social media activity, and participation in public discourse. ScienceDirect.
• Kurniawan, W., Arham, M., & Muluk, H. (2023). Social Media’s Influence on Political Participation: Insights from a Systematic Review and Meta-Analysis in Indonesian Psychology. Jurnal Psikologi Indonesia.
• Muhyusril, et al. (2024). Quo vadis regulasi kampanye partai politik di media sosial. MHN.
• Rachimoellah, M. (2023). Digital Activism and Political Change: Challenges of Social Media. MEIS.
• Subekti, D., et al. (2025). Social media and disinformation for candidates. Frontiers in Political Science.
• The Industry of Political Buzzing in Indonesia and its Impact on Social Media Governance. (2023). KAS Document.