Politik adalah sebuah kontrak sosial yang mengikat diantara pihak-pihak yang menyepakatinya. Semua negara yang mendeklarasikan dirinya sebagai negara demokratis, wajib menerapkan system politk yang terbuka dalam penyelenggaraan pemerintahannya. Ada pemlihan secara langsung tanpa paksaan, ada pembagian kekuasaan dalam format Trias Politica dan politik berdaya dalam kehidupan sehari-hari dari masyarakatnya.
Sejak berakhirnya perang dunia kedua dan dmulainya perang dingin antara blok Tmur yang dipimpin oleh Russia, di periode waktu yang sama Amerika Serikat melanjutkan visi mendemokratisasi berbagai negara di sebagian dunia, tentu di wilayah-wilayah atau negara yang tidak dikuasai oleh Rusia dan Blok Timur.
AS memberikan keyakinan bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) adalah sebuah forum kongresial, dimana kepentingan politik antar negara anggota dibicarakan dalam forum yang terbuka dan bersifat umum. Kepentingan politik sektoral tentu akan digantkan oleh kepentingan politik yang mensejahteraan kehidupan masyarakat yang dilingkupi sebuah ruang besar bernama negara.
Perang adalah sebuah periode waktu yang meyengsarakan, dimana sebuah entitas kelompok yang bernama negara harus saling serang untuk menunjukan kekuatannya. Memang bukan upaya yang baik, namun dalam kondisi tabrakan kepentingan yang sudah tidak dapat dinegosiasikan (deadlock), maka perang menjadi satu-satunya cara untuk memperjuangkan atau justru merebut kembali hak yang masing-masing negara miliki.
Jika lingkungan politik tidak bersahabat, maka situasi perekonomian kemungkinan besar akan buruk. Hal ini memicu migrasi karena alasan politik dan ekonomi. Kebanyakan migran berangkat ke negara-negara yang lebih demokratis dimana mereka dapat mengejar karir, pendidikan dan kebebasan yang lebih baik.
Dunia pernah beberapa kali mengalami perang, sebuah kondisi yang menyengsarakan rakyat dari kedua belah pihak. Luka dan trauma sehabis perang yang diwariskan selama beberapa generasi membuat kejadian-kejadian tentang perang dapat di-capture dengan sangat baik di bayangan semua orang. Kondisi ini tentu adalah hal yang menyakitkan, dan mayoritas masyarakat akan menolak untuk mendekati periode ini.
Dalam Democtratic Peace Theory (DPT), atau sebuah aliran pemkrian tentang dokrin demokratisasi seluruh penjuru dunia yang dikembangkan sebagai teori sosial dari AS, mereka meyakinkan, bahwa sesame negara demokrasi terikat pada kepentingan publik, dan visi yang dijalankan dalam kebijakan politik yang diambl tidak bisa lepas dari kesepakatan mayoritas.
Penerapan demokrasi di berbaga negara memanglah sangat disesuaikan dengan sejarah, kultur masyarakat dan faktor-faktor geopolitik yang tidak luput dari pertimbangan. Walaupun begitu, kegamangan dalam menilai kualitas demokrasi yang terjadi di sebuah negara merupakan hal yang rumit dan kompleks.
Supremasi sipil yang setelah perang dunia kedua banyak diangkat oleh berbagai negara ke dalam konstitusinya. Sebagai sebuah kerangka konsep, penerapannya berbeda-beda di setiap negara. Perbedaan gaya komunikasi dari kepemimpinan nasional ikut berpengaruh dalam menciptakan sebuah iklim demokrasi yang ideal.
Sebuah lembaga nternasional yang bernama “Freedom House” menjadi wasit lapangan, yang secara rutin memberikan skor dalam penyelenggaraan pemerintahan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir Indonesia mendapatkan skor 58. Bukan skor yang buruk, namun mash beberapa poin berada dibawah standar kebebasan.
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang banya menjerat dan memenjarakan warga net di seluruh penjuru Indonesia, praktik toleransi beragama, masalah penegakan hukum yang tidak berjalan dengan tertib dan masalah penegakan hukum bagi pelaku korupsi berkontribusi pada rendahnya nilai yang diberikan oleh lembaga ini pada demokrasi di Indonesia.
Indikator kebebasan dinilai dari berbagai aspek, diantaranya kebebasan berbicara di ranah publik, kebebasan untuk berkumpul, berserkat dan mendirikan kelompok, kemampuan masyarakatnya beradaptasi dengan perubahan sosial dan pergeseran ideologis, kualitas penegakan hukum, jumlah tingkat korupsi di birokrasi dan banyak hal lainnya.
Negara-negara yang relative baik dalam segi penerapan demorasi berada di skor 70 sampai 100. Namun mengingat angka yang dimiliki Indonesia masih berada dibawah standar kebebasan, menjadi pertanda bahwa demokrasi yang terjadi di Indonesia belum sepenuhnya meresapi prinsip-prinsip demokrasi yang baik, atau justru dinilai ideal.
Banyak negara di Eropa menjadi representasi penyelenggaraan pemerintahan demokratis yang berlangsung dengan baik. Hal ini tercermin dalam skor yang negara tersebut miliki, diantarnya adalah Korea Selatan dengan skor 79, Afrika Selatan dan Rumania dengan skor 83, Kroasia dengan skor 84, Antigua dan Argentina dengan Skor 85.
Beberapa negara termasuk dalam kategori yang sangat baik, dengan skor diatas 90, diantaranya adalah : Austalia, Amenia, Belgia, Kanada, Cile, Kosta Rika, Republik Czech, Dominica dan Denmark. Bahkan beberapa negara seperti Norwegia, Finlandia, dan Swedia mendapatkan nilai sempurna, yakni 100 poin. Skor ini menjadi salah satu indicator bahwa negara tersebut menerapkan praktik demokrasi dengan sangat baik dan ideal.
Praktik ini merupakan refleksi yang perlu difikirkan kembali dalam upaya menciptakan peradaban yang berkualtas. Membangun demokrasi adalah sebuah tahapan, dan langkah pertama yang dimulai melalui pemikiran dan praktik bernegara, perlu juga disokong dengan kualitas demokrasi yang berkualitas, agar menciptakan pembangunan yang dapat dikonvergensikan sebagai jembatan untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat secara domestic ataupun global.
Referensi
Huntington, Samuel P. 1991. Democracy Third Wave. Journal of Democracy, Vol.2, No.2
Joseph, Paul I. 2016. Chapter : Democratic Peace Theory. The SAGE Encyclopedia of War: Social Science Perspectives. SAGE Publisher
Freedom House. Countries and Territories. https://freedomhouse.org/countries/freedom-world/scores