Multikulturalisme dan Krisis identitas

Keragaman budaya yang dikampanyekan sebagai upaya toleransi dan harapan untuk memupuk persaudaraan manusia lintas benua menjadi kegiatan yang semakin umum dan semakin meluas di tengah masyarakat modern. Saat ini individu sering dihadapkan pada berbagai masalah kontemporer yang menavigasi multiidentitas di lingkungan sosial yang mereka temui.



Percakapan dialogis tidak hanya terjadi di dunia nyata lewat tatap muka, tapi juga melalui semua interaksi yang dapat mereka nikmati di berbagai platform sosial media. Mulai dari saling balas komentar dari tayangan satu arah seperti Youtube, saling lempar Argumen di platform X (Twitter), Percakapan dua arah di Whatsapp, ataupun reaksi atas komentar lewat snitch di Tiktok.

Semua solusi atas permasalahan lama yang mulai terjawab di era modern, yakni universalitas moral dan cara interaksi. Namun, bukan berarti seluruh hal yang dihasilkan berdampak positif bagi masyarakat saat ini, sebagian memberikan dampak yang buruk. Seperti dua mata koin, semua fenomena di dunia selalu memiliki dua sisi, yakni positif dan negatif. Memitigasi ataupun melakukan problem solving atas permasalahan modern yang dihadapi adalah salah satu tanggungjawab bersama yang perlu dijawab dengan lintas disiplin keilmuan.

Salah satu dampak yang sering dihadapi adalah keterasingan identitas, di mana individu mungkin merasa terasing atau kehilangan rasa keterhubungan dengan diri mereka sendiri. Permasalahan yang timbul akibat norma modern yang dihasilkan oleh interaksi antar masyarakat di komunitas global berimpikasi pada nilai-nilai dasar yang mereka anut dari akarnya memiliki perbedaan dengan masyarakat dunia secara umum.

Keterasingan identitas sering muncul ketika individu merasa identitas mereka tidak lengkap atau bahkan bertentangan. Hal ini terjadi saat seseorang mencoba untuk menggabungkan elemen identitas yang saling bertentangan, seperti budaya yang berbeda atau nilai-nilai yang kontradiktif. Misalnya, seorang individu yang tumbuh dalam dua budaya yang berbeda akan merasa kesulitan merangkum esensi dari keduanya, menciptakan perasaan tidak lengkap atau bingung.

"Handbook of Multicultural Counseling" adalah salah satu buku populer yang memberikan terhadap pemahaman dan praktik psikologi multikultural. Ditulis oleh beberapa ahli terkemuka, salah satunya adalah Ponterotto. Buku ini tidak hanya dapat menjadi referensi yang lengkap, tetapi juga sebuah modul bagi praktisi psikologi dalam menangani permaslahan modern, termasuk di dalamnya dampak dari Multikulturalisme.

Psikologi multikultural merupakan salah satu subjek dalam studi Psikologi yang yang berupaya untuk memahami dan memberikan analisa terkait interaksi kompleks yang terjadi antara individu dan konteks kebudayaan yang mereka terima. Dalam realitasnya, kebudayaan memainkan peran yang sangat penting dalam membentuk perilaku, nilai-nilai, dan pola pikir individu. Psikologi multikultural menunjukan berbagai dampak kebudayaan terhadap perilaku yang menimbulkan krisis identitas.

Identitas kultural merupakan bagian integral dari diri individu, yang membentuk pengalaman pribadi dan menimbulkan identitas. Pengalaman hidup, bahasa, agama, dan tradisi masing-masing berkontribusi dan berperan dalam membentuk identitas kultural seseorang. Seperti yang kita ketahui, bahwa identitas dari seseorang sangatlah memengaruhi persepsi tentang diri, pandangan tentang kepuasan hidup, dan kesejahteraan psikologis secara umum. Hal yang memungkinkan seseorang untuk menyelesaikan stress yang timbul dari determinasi.

Sebagai contoh, masyarakat modern sering memiliki masalah dengan identitas ganda. Pengalaman berinteraksi lintas budaya atau justru mengalami migrasi akan mempengaruhi diri seseorang dalam menyeimbangkan berbagai aspek kebudayaan dan nilai yang mereka anut. Dalam realitas modern, konsep multiidentitas menjadi semakin relevan untuk diterapkan, komunitas masyarakat telah menjadi semakin mengglobal. Hal yang turut menantang tradisi ikatan emosional pada diri seseorang. Sebaliknya, individu sering kali dihadapkan pada beragam identitas yang menciptakan dinamika unik dalam hubungan dan kesejahteraan psikologis.

Setiap individu merespons tantangan terhadap tradisi dengan cara yang berbeda, dan seringkali perubahan tersebut merupakan proses yang kompleks dan bertahap. Beberapa orang mungkin memilih untuk tetap setia pada tradisi sementara yang lain mungkin lebih terbuka terhadap perubahan dan evolusi.

Identitas seseorang tidak lagi dapat dijelaskan dengan singkat oleh satu kategori. Sebaliknya, kita sering melihat individu yang membawa beberapa identitas sekaligus, termasuk identitas kultural, gender, dan profesi apa yang mereka lakukan. Multiidentitas membentuk landasan yang kuat, namun sering kali bertentangan dari kebutuhan emosional dari seseorang, yang kemudian menimbulkan tantangan dalam pembentukan ikatan emosional yang konsisten pada kelompok tertentu.

Kita tentu menemukan gaya komunikasi antar budaya. Beberapa budaya cenderung menekankan ekspresi verbal yang tegas dan langsung, sementara budaya lain mungkin lebih cenderung menggunakan komunikasi non-verbal atau bahasa tubuh dalam berkomunikasi. Sebagai contoh, di Indonesia kehormatan terhadap orang yang lebih tua atau yang memiliki status sosial yang lebih tinggi adalah pertimbangan yang penting sebelum memulai percakapan. Orang Indonesia cenderung menghindari konflik secara terbuka, walaupun hal itu berupa gagasan yang ia anggap penting untuk dikemukakan.

Berbeda dengan gaya komunikasi di  Indonesia, di Amerika percakapan seringkali berlangsung secara jelas dan terbuka. Orang Amerika cenderung menyatakan pendapat mereka dengan jelas dan tidak ragu-ragu. Pada umumnya, orang Amerika lebih terbuka untuk mempromosikan diri mereka sendiri dan mengekspresikan aspirasi mereka secara langsung.

Apabila seseorang memiliki perbedaan prinsipil dalam memandang perbedaan budaya, tentu melihat pinteraksi yang terjadi sebagai masalah. Misal, seseorang yang mencoba menggabungkan identitas kultural yang berbeda akan merasa sulit untuk membentuk ikatan yang konsisten dengan kelompok yang mengidentifikasi diri mereka dengan satu budaya tertentu. Perbedaan ini dapat diterima sebagai bagian dari toleransi keragaman dengan menciptakan pertentangan batin, atau justru menolaknya dengan landasan prinsipil.

Multiidentitas yang dialami oleh seseorang, tentu saja menjadi penghambat komunikasi yang membuat seseorang merqasa sulit untuk menyeimbangkan komunikasi dan membentuk ikatan emosional yang kuat diantara sesamanya. Identitas yang saling bertentangan atau bahkan bertentangan dapat menciptakan ketidakpastian dalam hubungan interpersonal. Perbedaan ini memengaruhi cara individu dalam menyampaikan ide, menanggapi konflik, atau menjalin hubungan interpersonal dengan orang-orang di lingkungan sekitarnya.

Ketika identitas-individu bertentangan, individu sering kali menghadapi stres internal dan konflik budaya. Sebagai contoh, seseorang yang memiliki multiidentitas mungkin merasa tertekan untuk memenuhi harapan dari berbagai kelompok atau merasa dilema ketika norma-norma budaya bertentangan. Hal ini dapat menyebabkan ketidaknyamanan emosional dan menciptakan tantangan dalam mencapai kesejahteraan psikologis yang seimbang.

Kebudayaan juga memainkan peran besar dalam konsep kesehatan mental dan pendekatan terhadap pengobatan. Stigma terhadap penyakit mental, cara individu menyikapi stres, dan kepercayaan terhadap obat-obatan atau terapi dapat bervariasi secara signifikan antar budaya.

Konflik antarbudaya dapat muncul dari ketidakpahaman atau stereotip yang salah mengenai budaya tertentu. Psikologi multikultural berkontribusi pada upaya memecahkan konflik ini dengan memberikan wawasan mendalam tentang perbedaan budaya, membuka dialog yang konstruktif, dan mempromosikan pemahaman saling.

Setiap kebudayaan memiliki norma-norma sosial yang memandu perilaku masyarakatnya, termasuk norma-norma terkait dengan nilai kekeluargaan, pembahasan gender, masalah pekerjaan, dan banyak aspek lainnya. Studi kasus pada pengaruh norma-norma kultural dapat mencakup contoh tentang bagaimana pandangan terhadap individualisme dan kolektivisme dapat mempengaruhi prioritas hidup dan pilihan karir dalam budaya tertentu.

Individu dengan multiidentitas seringkali dihadapkan pada masalah kemampuan diri untuk menyeimbangkan peran mereka dalam berbagai konteks. Sebagai contoh, seseorang dapat merasa sulit memisahkan peran profesional dan peran pribadi ketika keduanya memiliki identitas yang berbeda. Hal ini tentu menciptakan tekanan psikologis yang memengaruhi kemampuan individu untuk membentuk ikatan emosional yang baik dan stabil.

Faktanya, masyarakat modern dengn pendidikannya yang baik telah berhasil untuk semakin menghargai keragaman identitas. Namun, sambil merayakan keberhasil ini, realitas ini juga menciptakan permasalahan bagi tiap individu. Mengakui bahwa konsep multiidentitas adalah hal yang penting dan berkontribusi dalam membuka pintu untuk melakukan eksplorasi  bagi pertumbuhan individu, tetapi juga memerlukan kesadaran dan upaya ekstra untuk menciptakan keseimbangan yang sehat antara berbagai aspek identitas.

Referensi :

Ponterotto, J. G et al. 2010. Handbook of multicultural counseling (3rd ed.). Sage Publications.

Phinney, Jean & Horenczyk et al. 2001. Ethnic Identity, Immigration, and Well‐Being: An Interactional Perspective. Journal of Social Issues. 57. 493 - 510. 10.1111/0022-4537.00225. 

Needham, Belinda L. et al. 2016 Acculturation Strategies Among South Asian Immigrants: The Mediators of Atherosclerosis in South Asians Living in America (MASALA) Study. J Immigrant Minority Health DOI 10.1007/s10903-016-0372-8. Springer. 

Posting Komentar

Related Posts