Perlunya Revisi Program Makan Bergizi Gratis: Mengawal Kesehatan Anak, Mengawal Akuntabilitas Negara

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas pemerintahan Prabowo Subianto sejak awal mencuri perhatian publik. Ide dasarnya tampak sederhana sekaligus mulia, menyediakan makanan bergizi gratis untuk peserta didik di sekolah agar kesehatan anak-anak Indonesia meningkat dan kualitas sumber daya manusia masa depan lebih terjamin. Namun realitas pelaksanaan di lapangan justru menunjukkan serangkaian masalah yang perlu segera dibenahi. Kasus-kasus keracunan massal yang berulang di sejumlah sekolah menjadi sinyal dampak dari penerapan yang hari ini diberlakukan, bahayanya tidak bisa diabaikan. Program yang semestinya menyehatkan justru berisiko jadi masalah kesehatan baru saat tidak dikelola dengan baik dan benar.

Program Makan Bergizi Gratis di Sekolah (Sumber: ugm.ac.id) 


Di banyak daerah, laporan keracunan akibat konsumsi makanan dari program MBG mulai dianggap hal yang biasa. Situasi ini berbahaya, bukan hanya karena mengancam kesehatan anak-anak, tetapi juga karena  bisa jadi pengikis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Lebih ironis lagi, masalah ini muncul di tengah anggaran yang sangat besar, mencapai triliunan rupiah dari APBN. Anggaran yang sedianya menjamin kualitas makanan justru tidak otomatis menghadirkan keamanan pangan yang layak. Hal ini memperlihatkan adanya kesenjangan serius antara perencanaan kebijakan dan pengawasan di tingkat pelaksanaannya.


Di lapangan, muncul pula kecenderungan menutup-nutupi informasi ketika terjadi keracunan massal. Guru dan siswa disebut mendapat tekanan untuk tidak membicarakan kasus tersebut secara terbuka. Dalam situasi seperti ini, Badan Gizi Nasional (BGN), yang seharusnya berperan sebagai lembaga pengawas independen, justru tampak lebih seperti humas pemerintah yang sibuk menjaga citra ketimbang menyelesaikan masalah. Praktik ini jelas berbahaya bagi transparansi dan akuntabilitas publik. Padahal, program sebesar MBG hanya dapat berhasil jika publik merasa aman untuk menyampaikan laporan masalah tanpa takut pada sanksi atau tekanan politik.


Keracunan Massal Siswa dari MBG (kompas.com) 

Peran BGN semestinya diarahkan untuk menjadi pengawas yang profesional dan independen. Lembaga ini harus menerima laporan, kritik, dan saran dari sekolah, guru, orang tua, dan masyarakat luas. Dengan posisi sebagai pengawas, BGN dapat mengaudit kualitas makanan, menindak penyedia jasa yang melanggar standar, serta memberikan rekomendasi perbaikan kebijakan secara sistematis. Fungsi pengawasan ini jauh lebih penting daripada sekadar menjadi corong pemerintah yang mengeluarkan pernyataan menenangkan. Tanpa transparansi, kepercayaan publik akan runtuh, dan program MBG kehilangan legitimasi moralnya.


Salah satu solusi realistis untuk membenahi masalah ini adalah mengembalikan kendali pengelolaan MBG ke masing-masing sekolah. Dalam model ini, sekolah dapat menyediakan satu ruang kelas khusus yang difungsikan sebagai dapur umum. Dapur ini dikelola secara swasembada oleh guru dan tenaga pendukung, dengan menunjuk satu koordinator utama yang berperan layaknya “chef” sekolah. Koordinator ini bertanggung jawab memastikan kualitas dan keamanan makanan sesuai standar gizi yang telah ditetapkan pemerintah. Model ini memberi keleluasaan pada sekolah untuk mengatur menu sesuai kondisi sekitar, bahan makanan yang tersedia di sekitar, dan selera anak-anak. Dengan demikian, kualitas makanan lebih mudah diawasi secara langsung, dan bila terjadi masalah sekolah dapat segera menghentikan distribusi makanan serta melaporkannya tanpa harus menunggu birokrasi yang panjang dan berbelit. 

Penerapan MBG baiknya melokalisir potensi dari guru dan sekolah, agar efektivitas dan efisiensi terlaksana (kompas.com) 


Pola pengelolaan berbasis sekolah juga memberikan dampak positif bagi guru. Guru yang terlibat langsung dalam program MBG layak mendapatkan tambahan tunjangan resmi sebagai kompensasi atas tanggung jawab ekstra yang mereka emban. Dengan begitu, keterlibatan guru tidak menjadi beban, melainkan bagian dari sistem kesejahteraan yang mendorong kepedulian lebih tinggi terhadap kualitas makanan yang disajikan. Sekolah akan memiliki rasa kepemilikan terhadap program ini, sehingga mereka lebih peduli dan lebih bertanggung jawab dalam menjaga standar kebersihan dan keamanan pangan.


Model pengelolaan berbasis sekolah ini juga lebih hemat anggaran karena mengurangi ketergantungan pada pihak ketiga atau vendor besar yang sulit diawasi. Distribusi dana langsung ke sekolah membuat pembelanjaan lebih transparan dan terarah. Di sisi lain, BGN tetap memiliki peran penting dalam menetapkan standar gizi nasional, memberikan pelatihan teknis mengenai keamanan pangan, dan melakukan audit berkala. Namun peran tersebut harus fokus pada pengawasan dan evaluasi, bukan pada menekan atau membungkam laporan masalah dari lapangan.

Kasus demi kasus harap jadi pembelajaran yang berarti bagi Pemerintah (kompas.com) 


Revisi menyeluruh terhadap MBG sangat penting untuk menjamin program ini benar-benar memberikan manfaat. Program makan bergizi gratis harus menjamin keamanan pangan, keterbukaan informasi, dan akuntabilitas anggaran. Pemerintah tidak boleh menganggap masalah keracunan massal sebagai risiko biasa. Ini adalah masalah serius yang menyangkut keselamatan anak-anak bangsa dan kredibilitas negara. MBG tidak boleh menjadi sumber masalah baru, tetapi harus menjadi solusi nyata terhadap persoalan gizi anak di Indonesia.


Dengan mengembalikan kendali pengelolaan ke sekolah, memperkuat peran pengawasan BGN, memberikan insentif bagi guru yang terlibat, serta membangun sistem pelaporan yang terbuka, program MBG dapat menjadi kebijakan publik yang benar-benar efektif. Program ini hanya akan berhasil jika seluruh pihak merasa dilibatkan, didengar, dan dilindungi. Jika model pengelolaan seperti ini diterapkan secara konsisten, MBG bukan hanya akan meningkatkan kualitas gizi anak-anak, tetapi juga memperkuat budaya transparansi penyelenggaraan, akuntabilitas pemerintahan, dan diakomodasikannya partisipasi publik di Indonesia.

Posting Komentar

Related Posts