Demokrasi modern idealnya bertumpu pada keseimbangan antara pemerintah dan oposisi. Oposisi berfungsi sebagai penyeimbang, pengawas, sekaligus penyalur kritik terhadap kebijakan penguasa. Namun dalam praktik politik Indonesia kontemporer, oposisi semakin kehilangan tempat. Banyak partai politik lebih memilih berada dalam lingkar kekuasaan ketimbang mengemban peran oposisi yang kritis. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah demokrasi Indonesia sedang bergerak menuju proseduralisme belaka, di mana oposisi dianggap tidak relevan?
Politik Bagi-Bagi Kursi Kekuasaan
Pasca-Reformasi, Indonesia sempat dipuji sebagai salah satu negara dengan demokrasi paling dinamis di Asia Tenggara (Aspinall & Mietzner, 2010). Namun dinamika itu kini menurun. Partai politik yang sebelumnya berseberangan dengan pemerintah akhirnya masuk koalisi dengan alasan pragmatis: kursi jabatan, alokasi anggaran program, dan akses proyek pembangunan. Dengan cara ini, partai dapat menjaga popularitas, sekaligus memastikan kadernya mendapat pekerjaan strategis di lingkar kekuasaan.
Kecenderungan ini menunjukkan bahwa partai politik lebih mengutamakan kepentingan internal ketimbang kepentingan publik. Marcus Mietzner (2013) menyebut fenomena ini sebagai bentuk pragmatisme partai pasca-otoritarian, di mana orientasi utama adalah distribusi kekuasaan, bukan ideologi atau visi politik jangka panjang. Akibatnya, politik Indonesia didominasi oleh logika akomodasi kekuasaan, bukan kontestasi ide.
Dinasti Politik dan Oligarki
Akomodasi kekuasaan juga erat kaitannya dengan keberlangsungan dinasti politik. Hadiz dan Robison (2017) menjelaskan bahwa oligarki ekonomi dan politik di Indonesia saling menopang. Partai politik sering kali enggan menjadi oposisi karena posisi di luar kekuasaan akan mengancam kenyamanan dinasti yang sudah mengakar. Dengan berada di pemerintahan, akses terhadap sumber daya negara lebih terjamin, termasuk untuk membiayai jaringan patronase yang menopang eksistensi partai.
Laporan Indonesia Corruption Watch (2020) menegaskan bahwa dinasti politik dalam pilkada semakin menguat karena dukungan partai yang menempatkan kekuasaan keluarga lebih penting daripada akuntabilitas publik. Dengan kata lain, partai yang konsisten berada di lingkar kekuasaan berperan sebagai mesin reproduksi dinasti politik, bukan sebagai sarana demokratisasi.
Kehilangan Oposisi dan Melemahnya Parlemen
Ketika semua partai memilih masuk koalisi, fungsi parlemen sebagai pengawas pemerintahan melemah drastis. Alih-alih menjadi ruang perdebatan kebijakan, parlemen cenderung menjadi forum aklamasi (Slater, 2018). Rakyat pun kehilangan jaminan bahwa suara mereka akan diperjuangkan melalui mekanisme representasi politik.
Di titik ini, demokrasi Indonesia mengalami krisis representasi. Parlemen tidak lagi mencerminkan perbedaan ide dan kepentingan publik, tetapi menjadi cermin dari kompromi elite. Demokrasi prosedural tetap berjalan melalui pemilu, tetapi demokrasi substantif, yang memastikan keadilan dan keberpihakan pada rakyat, semakin jauh dari harapan.
Buzzer Politik dan Manipulasi Opini Publik
Masalah lain yang memperparah rapuhnya demokrasi adalah maraknya penggunaan buzzer politik. Ross Tapsell (2017) dalam studinya tentang media di Indonesia menyebut bahwa elite politik menggunakan buzzer untuk membangun citra dan mengontrol opini publik. Merlyna Lim (2017) menambahkan bahwa media sosial telah menjadi ruang polarisasi, di mana buzzer menciptakan “enklave algoritmik” yang memperkuat kultus individu dan menyerang suara kritis.
Buzzer berfungsi ganda. Pertama, mengangkat citra elite agar selalu tampak positif. kedua, mendeligitimasi pihak oposisi dan suara masyarakat sipil. Dalam praktik ini, demokrasi digital yang seharusnya memperkuat partisipasi rakyat justru dipakai sebagai alat propaganda baru. Akibatnya, rakyat kesulitan membedakan antara kritik yang genuine dan narasi yang dipelintir demi kepentingan politik tertentu.
Pembusukan Demokrasi
Fenomena “politik tanpa oposisi” membuat demokrasi Indonesia kehilangan daya kritis. Ketika semua partai berada di lingkar kekuasaan, rakyat tidak lagi memiliki representasi yang berfungsi sebagai penyeimbang. Parlemen gagal memainkan peran sebagai pengawas pemerintah, sementara ruang digital dikuasai oleh buzzer yang menyebarkan propaganda.
Situasi ini menimbulkan risiko runtuhnya kepercayaan publik terhadap sistem politik. Liddle dan Mujani (2007) menekankan bahwa kepercayaan rakyat adalah fondasi demokrasi. Jika kepercayaan hilang, pemilu hanya akan menjadi ritual formal tanpa substansi. Inilah bahaya terbesar dari politik akomodasi kekuasaan: demokrasi tetap ada secara prosedural, tetapi kosong secara substantif.
Merangkai Cara dan Peran Masyarakat Sipil
Meski partai politik enggan menjadi oposisi, ruang demokrasi masih bisa dijaga melalui kekuatan masyarakat sipil. Media independen, akademisi, aktivis, dan komunitas warga dapat menjadi penyeimbang baru. Mereka dapat mengisi kekosongan oposisi formal dengan menyuarakan kritik, melakukan advokasi kebijakan, dan membangun narasi alternatif.
Laporan LIPI (2019) tentang demokrasi Indonesia menegaskan bahwa masyarakat sipil masih menjadi salah satu benteng terakhir dalam mencegah kemunduran demokrasi. Jika rakyat berhenti bersuara, maka demokrasi akan benar-benar mati. Namun jika masyarakat sipil mampu memanfaatkan ruang digital dan ruang publik secara kreatif, ada peluang untuk menekan elite politik agar kembali pada esensi demokrasi.
Politik tanpa oposisi di Indonesia adalah cermin rapuhnya demokrasi kita hari ini. Akomodasi kekuasaan, dinasti politik, dan maraknya buzzer membuat demokrasi kehilangan substansinya. Partai politik lebih sibuk mengamankan kursi dan proyek ketimbang memperjuangkan kepentingan rakyat. Akibatnya, parlemen kehilangan fungsi pengawasan, sementara rakyat kehilangan representasi yang sesungguhnya.
Namun, harapan tidak sepenuhnya hilang. Masyarakat sipil, media independen, dan ruang diskusi alternatif dapat mengambil peran oposisi informal. Demokrasi bukan hanya tanggung jawab partai politik, tetapi juga tanggung jawab seluruh warga negara. Hanya dengan kritik, partisipasi, dan kesadaran kolektif, demokrasi Indonesia dapat kembali bernafas.
Referensi:
Aspinall, E., & Mietzner, M. (2010). Problems of Democratisation in Indonesia: Elections, Institutions and Society. ISEAS Publishing.
Hadiz, V. R., & Robison, R. (2017). Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets. Routledge.
ICW. (2020). Oligarki Politik dan Dinasti dalam Pilkada. Jakarta: Indonesia Corruption Watch.
Lim, M. (2017). Freedom to Hate: Social Media, Algorithmic Enclaves, and the Rise of Tribal Nationalism in Indonesia. Critical Asian Studies, 49(3).
Liddle, R. W., & Mujani, S. (2007). Leadership, Party, and Religion: Explaining Voting Behavior in Indonesia. Comparative Political Studies, 40(7).
LIPI. (2019). Demokrasi di Indonesia: Antara Konsolidasi dan Kemunduran. Jakarta: LIPI Press.
Mietzner, M. (2013). Money, Power, and Ideology: Political Parties in Post-Authoritarian Indonesia. University of Hawai‘I Press.
Slater, D. (2018). Contentious Politics and Authoritarian Leviathans in Southeast Asia. Cambridge University Press.
Tapsell, R. (2017). Media Power in Indonesia: Oligarchs, Citizens and the Digital Revolution. Rowman & Littlefield.