Postmodernisme: Antara Kecurigaan, Relativisme, dan Politik Pengetahuan

Ketika modernitas lahir dari rahim Pencerahan abad ke-17 hingga ke-19, ada satu keyakinan besar yang melingkupi dunia, yaitumanusia, dengan akal dan sains, akan membawa peradaban menuju kemajuan, keadilan, dan kebahagiaan. “Cogito ergo sum” yang berarti “aku berpikir maka aku ada”, kata Descartes, seakan menjadi dasar peletak bagi bangunan pengetahuan modern. Logika, rasionalitas, dan ilmu pengetahuan dianggap universal, objektif, dan mampu mengantar manusia pada masa depan yang lebih cerah.



Namun, di penghujung abad ke-20, optimisme itu goyah. Dunia baru saja melewati perang dunia yang mengerikan, menyaksikan teknologi justru dipakai untuk membunuh jutaan manusia, dan melihat bagaimana sains kerap tunduk pada kepentingan politik maupun ekonomi. Dari keguncangan inilah lahir sebuah arus pemikiran yang menggugat seluruh jejak pemikiran modernitas, dikenal sebagai postmodernisme.

Postmodernisme bukan sekadar aliran filsafat, melainkan sebuah sikap intelektual, penuh kecurigaan terhadap klaim kebenaran, menolak kepastian, dan mengkritisi bagaimana kekuasaan tersembunyi dalam setiap wacana yang dianggap netral. Ia lahir sebagai semacam perlawanan, sebuah kritik terhadap kesombongan akal budi modern yang mengklaim dirinya sebagai satu-satunya jalan menuju kebenaran.


 Menggugat Asumsi Modernitas

Ada beberapa pilar modernitas yang menjadi sasaran tembak utama postmodernisme. Pertama adalah keyakinan bahwa ada realitas objektif yang eksis di luar manusia. Bagi para filsuf Pencerahan, alam semesta ada dengan hukum-hukumnya sendiri, independen dari pikiran dan budaya manusia. Postmodernis menolak gagasan ini sebagai bentuk “realisme naif”. Bagi mereka, apa yang kita sebut realitas hanyalah konstruksi konseptual yang dibentuk oleh bahasa, praktik sosial, dan perangkat pengetahuan. Dengan kata lain, realitas itu tidak pernah kita temui secara murni; ia selalu dimediasi oleh wacana.

Kedua, modernitas berasumsi bahwa kebenaran ilmiah dan historis dapat diukur secara objektif, bahwa ada fakta-fakta yang bisa diverifikasi sebagai benar atau salah. Postmodernisme menolak klaim tersebut. Kebenaran, bagi mereka, selalu bergantung pada perspektif dan konteks. Tidak ada “Truth” dengan huruf kapital, yang ada hanyalah “truths”, kebenaran jamak, yang lahir dari berbagai bahasa dan diskursus.

Ketiga, modernitas percaya pada kemajuan lewat sains dan teknologi. Dengan pengetahuan, manusia diyakini akan membangun masyarakat yang lebih adil dan lebih makmur. Namun postmodernisme justru melihat sejarah sebaliknya: bom atom, perang dunia, teknologi genosida, semua lahir dari sains yang katanya netral. Maka keyakinan bahwa ilmu pengetahuan pasti membawa kebaikan adalah ilusi. Bahkan ada postmodernis yang lebih ekstrem: menyebut rasionalitas, logika, dan teknologi sebagai instrumen kekerasan yang inheren represif.

Keempat, universalitas rasio juga digugat. Modernitas menganggap hukum logika dan akal berlaku di mana saja, kapan saja, bagi siapa saja. Postmodernis menolak: rasionalitas hanyalah konstruksi kultural, sahih dalam tradisi tertentu, tetapi tidak bisa dipaksakan sebagai hukum universal.

Kelima, klaim adanya hakikat manusia juga ditolak. Modernitas percaya manusia lahir dengan sifat atau potensi bawaan. Postmodernis lebih radikal: hampir semua aspek manusia adalah produk konstruksi sosial, dari identitas, gender, hingga psikologi. Tidak ada “kodrat” manusia yang permanen, hanya formasi sosial yang berubah-ubah.

Keenam, postmodernisme juga merombak cara pandang terhadap bahasa. Jika modernitas menganggap bahasa sebagai “cermin realitas”, postmodernis seperti Derrida justru melihat bahasa sebagai sistem tanda yang tak pernah benar-benar merujuk keluar dirinya. Makna kata bukanlah sesuatu yang stabil, melainkan selalu bergerak, selalu ditunda, selalu ditentukan oleh perbedaan dengan kata lain. Inilah yang dikenal dengan deconstruction: membongkar klaim makna tunggal, menunjukkan bahwa teks selalu menyimpan celah, kontradiksi, dan lapisan tak terbatas.

Ketujuh, mereka menolak fondasionalisme, sebuah usaha mencari dasar kepastian mutlak bagi pengetahuan. Dari Descartes yang membangun filsafat di atas cogito, hingga para ilmuwan modern yang mencari hukum universal, semua dianggap sebagai ilusi yang menutupi fakta bahwa pengetahuan selalu rapuh dan kontekstual.

Kedelapan, postmodernisme mencurigai metanarasi, teori besar yang mencoba menjelaskan segala hal tentang dunia. Marx dengan dialektika sejarah, positivisme dengan hukum kemajuan, hingga ideologi agama-politik yang menjanjikan keselamatan universal, semua ditolak sebagai totalisasi yang menindas. Jean-François Lyotard menyebut metanarasi itu berbahaya bukan hanya karena salah, tapi karena menyingkirkan narasi kecil yang berbeda. Totalitas, kata Derrida, cenderung berujung pada totalitarianisme.


Relativisme dan Kecurigaan

Dari seluruh gugatan ini, tampak jelas bahwa postmodernisme cenderung membawa pada relativisme radikal. Realitas tidak objektif, kebenaran tidak absolut, nilai moral tidak universal. Semua hanyalah konstruksi wacana, bergantung pada tradisi, komunitas, dan relasi kuasa yang melahirkannya.

Konsekuensinya, ilmu pengetahuan modern tidak bisa lagi dianggap lebih unggul daripada alternatifnya. Astrologi, perdukunan, atau bahkan mitos, dalam perspektif postmodernis, sama-sama memiliki validitas di dalam diskursusnya sendiri. Standar evidensi sains hanyalah produk dari “rasionalitas Pencerahan” yang hegemonik.

Kecurigaan ini menimbulkan pertanyaan serius: jika tidak ada kebenaran objektif, mengapa diskursus modern bisa dominan? Jawaban postmodernis adalah: kuasa. Diskursus yang berkuasa bukan karena lebih benar, tetapi karena lebih kuat.


Foucault dan Politik Pengetahuan

Di sinilah Michel Foucault memberi kontribusi besar. Baginya, pengetahuan tidak pernah netral; ia selalu terkait dengan kekuasaan. Apa yang dianggap benar, apa yang diakui sebagai ilmu, selalu ditentukan oleh jaringan kuasa yang mengatur masyarakat.

Contoh ekstremnya: ilmu psikiatri yang menentukan siapa “waras” dan siapa “gila”; sistem hukum yang mendefinisikan siapa “normal” dan siapa “penyimpang”; atau statistik negara yang memutuskan siapa “produktif” dan siapa “beban”. Semua kategori ini tampak objektif, padahal sarat kepentingan politik.

Postmodernisme, dengan logika ini, tidak sekadar teori filsafat, tetapi juga strategi pembongkaran hegemoni. Ia menantang dominasi wacana modern yang menyingkirkan kelompok pinggiran, dan membuka ruang bagi narasi alternatif.


Dari Kritik ke Politik Identitas

Karena mengakui kebenaran jamak, postmodernisme dipandang lebih demokratis. Ia memberi ruang pada suara yang sebelumnya dibungkam oleh metanarasi: perempuan, kelompok minoritas, etnis terpinggirkan, hingga komunitas LGBTQ+. Pada dekade 1980–1990an, postmodernisme bahkan menjadi semacam filsafat tak resmi dari politik identitas: membela keberagaman dengan cara meruntuhkan klaim universalitas modern.

Namun, kritik pun datang. Relativisme yang terlalu jauh bisa melumpuhkan. Jika semua kebenaran sama, bagaimana membedakan ilmu dari takhayul? Jika semua nilai relatif, apakah keadilan masih punya makna? Apakah kritik terhadap penindasan tidak kehilangan pijakan, jika penindasan pun hanya sebuah “narasi”?

Pertanyaan-pertanyaan inilah yang membuat postmodernisme selalu kontroversial. Ia membuka mata terhadap bahaya klaim kebenaran mutlak, tapi juga menjerumuskan pada dunia tanpa kepastian. Ia membongkar kuasa yang bersembunyi dalam sains, bahasa, dan logika, tapi sekaligus membiarkan kita terombang-ambing dalam relativisme.


Pembebasan dan Kekosongan

Postmodernisme adalah cermin bagi abad yang lelah dengan janji palsu modernitas. Ia menyingkap bahwa di balik klaim rasionalitas selalu ada kepentingan, bahwa di balik “kebenaran” selalu ada kuasa. Ia memberi ruang bagi yang berbeda, yang kecil, yang tertindas.

Namun harga dari kebebasan itu adalah hilangnya fondasi. Tanpa kebenaran objektif, tanpa realitas yang pasti, manusia hidup di dunia tanda yang tak berujung, makna yang selalu ditunda, dan relativisme yang tak kunjung selesai.

Mungkin di sinilah postmodernisme paling jujur untuk menyatakan kalau ia bukan menawarkan jawaban, melainkan mengingatkan bahwa setiap jawaban adalah sementara, rapuh, dan sarat kuasa. Dan barangkali, kesadaran itulah yang justru membuat kita lebih rendah hati dalam mencari kebenaran.


Referensi:

 Derrida, J. (1976). Of Grammatology. Baltimore: Johns Hopkins University Press.

 Foucault, M. (1972). The Archaeology of Knowledge. New York: Pantheon Books.

 Foucault, M. (1977). Discipline and Punish: The Birth of the Prison. New York: Pantheon Books.

 Lyotard, J. F. (1984). The Postmodern Condition: A Report on Knowledge. Minneapolis: University of Minnesota Press.

 Rorty, R. (1979). Philosophy and the Mirror of Nature. Princeton: Princeton University Press.

 Eagleton, T. (1996). The Illusions of Postmodernism. Oxford: Blackwell.

 Best, S., & Kellner, D. (1991). Postmodern Theory: Critical Interrogations. New York: Guilford Press.

 Hutcheon, L. (2002). The Politics of Postmodernism. London: Routledge.

 Bertens, H. (1995). The Idea of the Postmodern: A History. London: Routledge.

 Norris, C. (1990). What’s Wrong with Postmodernism: Critical Theory and the Ends of Philosophy. Baltimore: Johns Hopkins University Press.


Posting Komentar

Related Posts