Kata “anarkisme” sering kali bikin orang salah kaprah. Banyak yang langsung kepikiran chaos, rusuh, bom molotov, dan orang-orang tanpa aturan. Stigma ini keburu melekat karena definisinya sering dilihat dari sisi negatif, dengam kalimat “ketiadaan sesuatu”, yang dianggap nggak ada negara, nggak ada hukum, nggak ada pemerintah. Akhirnya anarkis dicap antisosial, antiorganisasi, bahkan teroris. Padahal, kalau mau ditelisik lebih dalam, justru sebaliknya, kalau anarkisme bukan tentang hidup barbar tanpa aturan, tapi tentang bagaimana aturan dibuat secara adil, sejajar, dan kolektif.
Banyak orang lupa, anarkisme itu bukan kebebasan liar versi “suka-suka gue”. Yang ditolak anarkis adalah bentuk hierarki yang menindas: negara yang otoriter, korporasi rakus, sampai sistem diskriminasi berbasis gender dan ras. Jadi ketika anarkis bilang “no rulers”, itu bukan berarti nggak ada kesepakatan sosial atau aturan bersama, tapi menolak model aturan yang datang dari atas, memaksa, dan nggak memberi ruang partisipasi setara.
Kalau mau dirangkum dengan bahasa sederhana, anarkisme adalah tentang positive liberty, kebebasan yang bermakna, bukan sekadar bebas dari sesuatu, tapi bebas untuk mengatur hidup bersama. Intinya, orang punya suara sejauh mereka terdampak oleh keputusan itu. Kalau kebijakan bikin nasib buruh berubah, buruhlah yang harus punya kontrol atas kebijakan tersebut. Kalau komunitas menghadapi masalah sosial, warga yang hidup di sana lah yang mesti memutuskan, bukan birokrat jauh di kursi empuk. Itulah yang disebut self-management, kemandirian kolektif.
Masalahnya, kita sering terjebak sama ilusi bahwa “tanpa negara, hidup pasti kacau”. Padahal sejarah udah ngasih bukti konkret soal gimana masyarakat bisa berjalan dengan model horizontal. Contoh paling keren tentu Revolusi Spanyol 1936. Waktu itu, para pekerja yang tergabung dalam serikat CNT melawan kudeta militer di Barcelona dan berhasil menang. Nggak berhenti di situ, mereka bahkan mengambil alih ribuan perusahaan dan jutaan hektar lahan pertanian. Bayangin: lebih dari 18.000 perusahaan dan 14 juta hektar tanah dikelola langsung oleh para pekerja. Itu bukan sekadar demo idealis di atas kertas, tapi praktik nyata bahwa industri bisa jalan dengan manajemen kolektif tanpa bos atau pemilik modal yang Cuma duduk menikmati laba.
Lebih gokil lagi, mereka nggak Cuma “survive”, tapi juga bikin sistem transportasi terkoordinasi, menutup fasilitas ganda biar lebih efisien, dan mengatur desa lewat musyawarah demokratis. Jadi kalau ada yang bilang anarkisme anti-aturan, ya jelas keliru. Mereka bikin aturan, tapi bukan aturan yang lahir dari ruang gelap kekuasaan. Aturan itu datang dari rapat, dari kesepakatan, dari suara langsung warga.
Sayangnya, eksperimen sosial ini runtuh bukan karena gagal dari dalam, tapi karena intervensi eksternal. Partai Komunis yang akhirnya menguasai pemerintahan pusat justru membalikkan arah revolusi. Alih-alih memperkuat gerakan rakyat, mereka mengirim emas Spanyol ke Moskow dan menjalankan strategi perang yang kaku, ala Perang Dunia I. Akhirnya, anarkis kalah bukan karena masyarakat menolak mereka, tapi karena dikhianati oleh sesama kubu kiri yang haus kuasa.
Di titik ini jelas: anarkisme bukanlah fantasi utopis tanpa arah, apalagi terorisme. Ia adalah tawaran serius tentang cara lain mengelola kehidupan bersama, tanpa hierarki menindas, tanpa bos, tanpa elite yang merasa lebih tahu dari rakyat. Dalam dunia yang makin dikontrol segelintir orang, dari politisi korup sampai korporasi teknologi raksasa, dimana gagasan anarkis justru makin relevan.
Ironisnya, cap buruk yang ditempelkan pada anarkisme sering kali diproduksi oleh mereka yang paling diuntungkan dari status quo. Narasi “anarkis itu chaos” membuat masyarakat takut untuk membayangkan alternatif. Padahal, kalau ditengok dari praktik nyata seperti di Spanyol, anarkisme membuktikan satu hal sederhana: orang biasa bisa mengatur hidupnya sendiri. Mereka nggak butuh bos besar untuk mendikte cara kerja, cara hidup, atau cara bermasyarakat.
Jadi, kalau ada yang masih percaya bahwa anarkisme = kekacauan, mungkin pertanyaan sebenarnya justru: siapa yang diuntungkan dari gambaran keliru itu? Karena bisa jadi, yang paling takut pada dunia tanpa hierarki bukanlah rakyat biasa, tapi para penguasa yang terbiasa hidup dari menindas orang lain.
Referensi:
Bookchin, M. (1995). Social anarchism or lifestyle anarchism: An unbridgeable chasm. Edinburgh: AK Press.
Dolgoff, S. (Ed.). (1974). The anarchist collectives: Workers’ self-management in the Spanish Revolution, 1936–1939. New York: Free Life Editions.
Kropotkin, P. (1970). Mutual aid: A factor of evolution. Montreal: Black Rose Books. (Karya asli diterbitkan tahun 1902)
Marshall, P. (2009). Demanding the impossible: A history of anarchism. Oakland: PM Press.