Sukarno, Nasakom, dan Dinamika Politik Indonesia Pada Tahun1960-an.

Dekade 1960, an menandai salah satu babak paling kompleks dalam sejarah politik Indonesia. Presiden Sukarno, sebagai pemimpin kharismatik yang mengantarkan bangsa ke pintu kemerdekaan, menghadapi tantangan besar dalam menjaga stabilitas nasional. Di tengah gejolak ideologi global Perang Dingin, kondisi ekonomi yang memburuk, dan ketegangan politik dalam negeri, Sukarno merumuskan konsep Nasakom, akronim dari Nasionalis, Agama, dan Komunis, sebagai strategi politik untuk merangkul berbagai kekuatan sosial yang saling bertentangan.

Namun, gagasan integratif tersebut tidak serta merta menghasilkan konsensus. Sebaliknya, Nasakom membuka ruang bagi pertarungan politik yang semakin tajam antara Partai Komunis Indonesia (PKI), militer, khususnya Angkatan Darat, serta kelompok nasionalis dan Islam. Krisis ekonomi yang semakin parah dan kebijakan luar negeri konfrontatif Sukarno memperparah kondisi, hingga akhirnya Indonesia memasuki titik balik sejarah pada pertengahan 1960, an.



Strategi Kekuasaan Sukarno

Konsep Nasakom lahir dari upaya Sukarno untuk mengakomodasi keragaman ideologi yang ada di Indonesia. Sejak awal kemerdekaan, dinamika politik Indonesia selalu ditandai oleh ketegangan antara kelompok nasionalis, religius, dan komunis. Ketiga kekuatan ini tidak hanya memiliki basis sosial yang besar, tetapi juga berakar pada aspirasi rakyat yang berbeda, beda.

Sukarno memahami bahwa tanpa menyatukan ketiga kekuatan tersebut, bangsa Indonesia akan terus terjebak dalam konflik internal yang melemahkan negara. Melalui Nasakom, Sukarno berusaha membangun sintesis ideologis yang memungkinkan nasionalisme, agama, dan komunisme berjalan beriringan dalam satu kerangka besar revolusi Indonesia. Bagi Sukarno, Nasakom bukan sekadar formula politik, melainkan strategi survival untuk mempertahankan kepemimpinannya di tengah polarisasi ideologis dunia, blok Barat yang kapitalis versus blok Timur yang sosialis.

Namun, implementasi Nasakom tidak semudah gagasan yang dikemukakan. Alih, alih menjadi jembatan, ia justru memunculkan tarik menarik yang makin intens, terutama karena peran PKI yang semakin dominan dalam lingkaran kekuasaan Sukarno.


 Hegemoni Politik Kiri

Pada awal 1960, an, PKI tampil sebagai salah satu kekuatan politik terbesar di Indonesia. Dengan jumlah anggota jutaan orang dan jaringan massa yang luas melalui organisasi seperti Barisan Tani Indonesia (BTI), Gerwani, dan Lekra, PKI berhasil memosisikan diri sebagai kekuatan politik rakyat yang militan.

Bahkan, di tingkat global, PKI menjadi partai komunis terbesar di luar Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina (RRC). Kedekatan ideologis ini memberi PKI legitimasi internasional, tetapi sekaligus menimbulkan kecurigaan besar dari kelompok antikomunis di dalam negeri.

Sukarno, dalam kerangka Nasakom, memberi ruang politik yang luas bagi PKI. Partai ini mendukung penuh agenda Sukarno, terutama dalam kebijakan konfrontasi terhadap Malaysia dan sikap anti, imperialis terhadap Barat. Namun, semakin mesranya hubungan Sukarno dan PKI memperdalam jurang dengan militer, khususnya Angkatan Darat, yang melihat komunisme sebagai ancaman langsung terhadap eksistensi mereka. 


Militer dan Antagonisme terhadap Faksi Kiri. 

Berbeda dengan Sukarno yang berusaha merangkul PKI, militer, khususnya Angkatan Darat, memandang komunisme dengan penuh kecurigaan. Sejak awal kemerdekaan, Angkatan Darat memiliki sejarah konflik dengan PKI, termasuk keterlibatan partai tersebut dalam pemberontakan Madiun 1948 yang meninggalkan trauma mendalam.

Pada dekade 1960, an, antagonisme itu kembali mencuat. Angkatan Darat khawatir jika kedekatan Sukarno dengan PKI akan menggeser peran mereka dalam struktur politik nasional. Dalam banyak kesempatan, PKI bahkan mendorong pembentukan “Angkatan Kelima”, yakni persenjataan bagi buruh dan tani, yang jelas dipandang sebagai ancaman langsung terhadap dominasi militer.

Meskipun Sukarno berusaha menjaga keseimbangan antara kedua pihak, dinamika politik semakin sulit dikendalikan. Ketegangan antara militer dan PKI akhirnya menciptakan atmosfer saling curiga yang meledak pada tragedi 1965.


Inflasi, Kemiskinan, dan Runtuhnya Legitimasi Bung Besar. 

Selain persoalan politik, kondisi ekonomi Indonesia pada awal 1960, an mengalami krisis serius. Kebijakan ekonomi Sukarno yang populis dan berorientasi pada mobilisasi massa revolusioner tidak mampu mengatasi persoalan fundamental.

Produksi pertanian stagnan, utang luar negeri membengkak, dan pengeluaran negara untuk proyek, proyek mercusuar serta konfrontasi dengan Malaysia menguras kas negara. Akibatnya, inflasi melonjak drastis hingga mencapai sekitar 600% pada tahun 1965.

Kehidupan sehari, hari rakyat kian terhimpit, harga kebutuhan pokok melambung tinggi, kelangkaan barang semakin parah, dan keresahan sosial merebak di berbagai daerah. Dalam situasi ini, dukungan rakyat terhadap berbagai gagasan revolusioner Sukarno mulai tergerus. Krisis ekonomi yang tak terkendali menjadi salah satu faktor utama runtuhnya stabilitas politik nasional.


Politik Luar Negeri dan Konfrontasi dengan Malaysia

Sukarno memperkuat posisinya melalui kebijakan luar negeri yang konfrontatif. Ia menentang pembentukan Federasi Malaysia yang dianggap sebagai “proyek neokolonialisme” Inggris. Melalui semboyan “Ganyang Malaysia”, Sukarno memobilisasi dukungan rakyat dan PKI.

Namun, kebijakan konfrontasi ini memiliki dampak besar terhadap ekonomi nasional. Anggaran militer membengkak, sementara hubungan diplomatik dengan negara, negara Barat memburuk. Indonesia semakin terisolasi di panggung internasional, terutama setelah menarik diri dari Perserikatan Bangsa, Bangsa (PBB) pada tahun 1965.

Di satu sisi, konfrontasi memperkuat posisi Sukarno sebagai pemimpin revolusioner dunia ketiga. Namun di sisi lain, kebijakan tersebut memperburuk krisis ekonomi dan menambah beban rakyat yang sudah kesulitan bertahan hidup.


Keruntuhan Retorika Revolusi

Pada akhirnya, gagasan Nasakom yang dicanangkan Sukarno tidak berhasil mewujudkan persatuan ideologis yang kokoh. Alih, alih menjadi jembatan, ia justru membuka ruang bagi konflik yang lebih besar. PKI memang mendapatkan legitimasi politik, tetapi kehadirannya semakin mengancam posisi militer. Sementara itu, rakyat justru semakin terhimpit oleh krisis ekonomi yang melumpuhkan kehidupan sehari, hari.

Sukarno, dengan segala kharismanya, berhasil mempertahankan peran sentral dalam politik Indonesia hingga pertengahan 1960, an. Namun, kombinasi antara polarisasi ideologi, antagonisme antara militer dan PKI, serta krisis ekonomi dan isolasi internasional menciptakan kondisi rapuh yang berujung pada peristiwa 1965.

Dari perspektif historis, era Nasakom memberi pelajaran penting, usaha merangkul kekuatan ideologi besar tidak akan berhasil tanpa fondasi ekonomi yang stabil dan mekanisme politik yang adil. Retorika persatuan ideologis tanpa manajemen krisis yang efektif hanya akan mempercepat lahirnya konflik baru.


 Referensi:

 Crouch, Harold. The Army and Politics in Indonesia. Ithaca, Cornell University Press, 1978.

 Feith, Herbert. The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Ithaca, Cornell University Press, 1962.

 Mortimer, Rex. Indonesian Communism under Sukarno, Ideology and Politics, 1959–1965. Ithaca, Cornell University Press, 1974.

 Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Jakarta, Serambi, 2008.

 Vickers, Adrian. A History of Modern Indonesia. Cambridge, Cambridge University Press, 2005.


Posting Komentar

Related Posts