Wacana Satu Orang Satu Akun: Politik DPR RI Membatasi Kebebasan Sipil

Usulan Komisi I DPR RI untuk menerapkan kebijakan “satu orang satu akun” media sosial telah menimbulkan kegelisahan publik. Di permukaan, gagasan ini mungkin terlihat sederhana, dengan mengendalikan anonimitas, mencegah hoaks, atau membatasi ujaran kebencian. Namun, jika ditelaah lebih jauh, usulan tersebut sesungguhnya mengandung masalah serius karena berpotensi mempersempit ruang kebebasan sipil dalam demokrasi Indonesia.



Media sosial di era digital bukan hanya wadah ekspresi personal, tetapi juga ruang publik baru tempat rakyat berinteraksi, mengawasi kekuasaan, dan mengorganisir diri. Di sinilah kontradiksi besar gagasan DPR muncul. Alih-alih memperkuat transparansi dan akuntabilitas digital, wacana satu akun per orang justru mengarah pada pembatasan sistematis terhadap hak rakyat untuk bersuara.


Belajar dari Cina, Uni Eropa, India, dan Singapura

Jika dibandingkan dengan praktik di negara lain, usulan DPR RI justru terlihat lebih menekan. Cina memang mewajibkan identitas asli untuk setiap akun media sosial, bahkan menegakkan kontrol ketat melalui sensor dan firewall. Namun, konteks Cina jelas berbeda: rezim otoriter menjadikan internet sebagai instrumen kontrol negara (MacKinnon, 2012). Apakah demokrasi Indonesia ingin bercermin pada model otoritarian semacam itu?


Uni Eropa menawarkan jalan berbeda. Melalui Digital Services Act (DSA), mereka tidak membatasi jumlah akun, tetapi menuntut transparansi perusahaan teknologi dalam mengelola konten ilegal. Platform diwajibkan memoderasi, melaporkan, dan bertanggung jawab penuh. Mekanisme ini menyeimbangkan kebebasan pengguna dengan perlindungan publik tanpa mematikan ruang digital (European Commission, 2022).


India, meski menghadapi risiko polarisasi politik dan konflik sektarian, juga tidak menerapkan aturan satu akun per orang. Aturan Information Technology Rules 2021 hanya menuntut kemampuan pelacakan sumber konten tertentu untuk investigasi hukum, bukan pembatasan hak individu dalam memiliki akun (Raj, 2021).


Singapura melalui POFMA mengatur hoaks dan manipulasi daring dengan memberi kewenangan pemerintah untuk menghapus atau mengoreksi konten, tetapi tetap tidak melarang warga memiliki banyak akun (Tan, 2019). Regulasi difokuskan pada tanggung jawab konten, bukan membatasi kepemilikan identitas digital.


Dari perbandingan ini, terlihat jelas bahwa Indonesia justru berisiko mengambil jalur yang lebih sempit dibanding negara-negara demokratis lain, dengan menempatkan rakyat pada posisi terkontrol ketat.


Pengaruh pada UMKM hingga Kebebasan Sipil

Salah satu dampak langsung dari wacana ini akan menimpa sektor UMKM. Di Indonesia, jutaan usaha kecil memanfaatkan media sosial seperti TikTok, Instagram, dan Facebook untuk menjual produk mereka. Kebijakan satu akun per orang akan memotong fleksibilitas pemasaran digital yang selama ini menjadi penyelamat UMKM di tengah krisis ekonomi. Alih-alih memperkuat daya saing digital, negara justru menghambat inovasi masyarakat.


Lebih dari itu, wacana ini mencerminkan kecenderungan yang lebih berbahaya: pembatasan kebebasan sipil. Dengan mengontrol identitas digital warganya, negara memperbesar kemampuan untuk mengawasi, membatasi, bahkan membungkam kritik. Ruang kebebasan berekspresi yang telah diperjuangkan sejak reformasi perlahan-lahan dikurangi dengan dalih keamanan dan keteraturan. Padahal, esensi demokrasi justru ada pada kemampuan rakyat untuk mengontrol kekuasaan, bukan sebaliknya.


Politik Kontrol Digital

DPR RI melalui wacana “satu orang satu akun” tidak sedang memperbaiki kualitas demokrasi digital, melainkan mempersempitnya. Jika kebijakan ini disahkan, kita akan menghadapi pola yang mirip dengan negara-negara otoriter, di mana identitas digital warga menjadi instrumen pengawasan. Ini jelas merupakan bentuk politik pembatasan kebebasan sipil yang bertentangan dengan semangat demokrasi dan reformasi.


Regulasi media sosial memang perlu, terutama untuk mengatasi hoaks, ujaran kebencian, dan disinformasi. Tetapi regulasi itu harus diarahkan pada akuntabilitas platform dan transparansi algoritma, bukan pada pembatasan rakyat. Membatasi kepemilikan akun hanya akan memperkuat cengkeraman negara atas ruang publik digital, sementara akar masalah penyalahgunaan informasi tetap tak tersentuh.


Dengan kata lain, wacana “satu orang satu akun” tidak lebih dari langkah mundur demokrasi. Jika rakyat menerima kebijakan ini begitu saja, maka kita sedang mengizinkan DPR mengatur bukan hanya cara kita berbicara, tetapi juga cara kita hadir di ruang publik digital. Inilah bentuk pengendalian yang halus tapi berbahaya, karena membatasi demokrasi melalui kebijakan teknis, sekaligus mereduksi kebebasan sipil yang menjadi fondasi republik.


Referensi:

European Commission. (2022). The Digital Services Act package. Publications Office of the European Union. [https://ec.europa.eu](https://ec.europa.eu)

MacKinnon, R. (2012). Consent of the networked: The worldwide struggle for Internet freedom. New York: Basic Books.

Raj, S. (2021). Social media regulation and the Indian state: An analysis of IT Rules 2021. Journal of Digital Media Policy, 12(3), 233–249.

Tan, N. (2019). Governing fake news: Regulation of online falsehoods in Singapore. Singapore Journal of Legal Studies, 2019(2), 403–419.

Tempo. (2025, July 21). Usulan pembatasan akun media sosial dinilai ancam UMKM. Tempo.co.

Posting Komentar

Related Posts