Penculikan Aktivis Demi Aktivis: Represi Aktivisme yang Tak Pernah Usai

Di negeri yang katanya mengaku menjunjung demokrasi, ada satu ancaman nyata yang terus menghantui masyaraktnya. Penculikan aktivis demonstrasi. Dari masa ke masa, pola represi ini tidak pernah benar-benar lenyap. Ia berubah bentuk, berganti wajah, menyesuaikan dengan konteks zaman. Namun, benang merahnya tetap sama, dengan tujuan, menyebarkan ketakutan massal, membungkam suara kritis, dan menegaskan bahwa negara, lewat aparatnya, sanggup mengendalikan ruang gerak warganya, dimanpun, baik di jalanan ketika berdemontrasi maupun di dunia maya ketika bersuara.


Praktik ini bukan sekadar soal pelanggaran hukum. Ia menyangkut martabat demokrasi itu sendiri. Sebab, tanpa kebebasan untuk mengkritik pemerintahan, demokrasi hanyalah jargon belaka. Demokrasi yang membiarkan penculikan aktivis tetap berlangsung hanyalah panggung sandiwara, di mana rakyat didorong bersorak untuk pemimpin, tapi harus diam ketika kenyataan pahit menelanjangi praktik KKN, korupsi, kolusi, dan nepotisme yang merajalela.

 Jejak Histori, Dari Reformasi hingga Kini

Jika kita menengok ke belakang, kasus penculikan aktivis bukanlah isu baru. Menjelang kejatuhan rezim Orde Baru, puluhan aktivis mahasiswa dan pro-demokrasi menjadi korban penculikan. Banyak dari mereka tidak pernah kembali. Nama-nama seperti Wiji Thukul menjadi simbol luka praktik keuasaan Orde Baru yang tak pernah sembuh. Slogan “Mencari Orang Hilang” bukan sekadar jargon, tetapi teriakan kolektif atas hak-hak sipil yang dicabut paksa.

Dua puluh tahun lebih setelah Reformasi, publik berharap luka lama itu tidak terulang. Namun realitas berkata lain. Laporan-laporan tentang intimidasi, penghilangan sementara, dan kriminalisasi aktivis masih bermunculan. Demonstrasi yang seharusnya menjadi kanal sah untuk menyalurkan aspirasi rakyat, justru kerap dijawab dengan represi. Aktivis lingkungan, buruh, mahasiswa, hingga pegiat HAM, tak jarang mendapati dirinya menjadi target.

Apakah ini sekadar kebetulan? Atau sedang meneruskan pola represi lama dengan sengaja?

 Penculikan sebagai Alat Menyebar Ketakutan

Dalam konteks politik, penculikan bukan sekadar peristiwa kriminal biasa. Ia memiliki fungsi politis: menciptakan efek gentar. Ketika seorang aktivis diculik, pesan yang disebarkan jauh lebih besar daripada sekadar membungkam satu individu. Pesan itu sederhana tapi mencekam: “Kalau kamu berani menentang, kamu bisa jadi korban berikutnya.”

Efek domino dari ketakutan ini jelas terasa. Banyak orang yang semula vokal, kemudian memilih menahan diri. Aksi demonstrasi menjadi sepi, kritik di media sosial berkurang, ruang publik perlahan dikontrol. Mekanisme kontrol ini lebih efektif daripada sekadar menutup mulut paksa, karena setiap diri dari rakyat dipaksa untuk menyensor dirinya sendiri.

Bukankah ini, pada akhirnya, sebuah bentuk “teror” yang dilembagakan? Bukan teror dari kelompok liar, melainkan teror yang diam-diam dilegitimasi oleh sistem yang seharusnya melindungi rakyatnya.

 Demonstrasi yang Dilabeli “Hasutan”

Dalam beberapa tahun terakhir, muncul pola narasi baru. Banyak demonstrasi publik dicap sebagai “hasutan.” Seolah-olah setiap aksi turun ke jalan adalah tindakan provokatif yang mengancam stabilitas negara. Narasi ini berbahaya. Sebab, jika demonstrasi dianggap hasutan, maka argumntsi yng cob disampaikan adalah “siapa pun yang berani menunjukkan ketidakpuasan berarti kriminal”.

Di sini, kita sampai pada paradoks besar demokrasi Indonesia. Ketidakpuasan publik dianggap subversif, sementara puja-puji terhadap pejabat diperlakukan sebagai ekspresi wajar. Jabatan Komisaris diberikan pada para Loyalis. Lalu, apakah demokrasi hanya berlaku satu arah? Apakah rakyat hanya boleh mengelu-elukan kinerja pejabat, meski negeri ini hampir runtuh oleh praktik KKN yang makin membabi buta?

Jika demonstrasi disebut hasutan, apakah diam berarti kesetiaan? Atau justru, diam adalah bukti bahwa masyarakat telah berhasil dijinakkan oleh rasa takut?

 Publik Sebagai Sasaran Kontrol

Kontrol sosial semacam ini tidak hanya menyasar aktivis garis depan. Ia menjalar ke seluruh lapisan masyarakat. Media sosial menjadi arena baru, di mana komentar kritis bisa dibalas dengan ancaman hukum atau intimidasi digital. Perlahan tapi pasti, masyarakat luas diarahkan untuk percaya bahwa aman itu berarti diam, patuh, dan tidak bersuara.

Namun, pertanyaan mendasar publik tetap terasa menggelegar, tentang “apakah benar diam membuat aman? Atau diam justru membuat kita semakin terjebak dalam lingkaran ketidakadilan?”

Ketika rakyat mulai percaya bahwa kritik adalah ancaman, maka demokrasi sudah berada di tepi jurang. Sebab, inti demokrasi bukan pada pesta pemilu lima tahunan, melainkan pada keberanian warganya untuk bersuara, setiap hari, setiap waktu, setiap saat, dimanapun, tanpa rasa bersalah, tanpa rasa takut.

Meteladani Polisi Rahasia Gestapo?

Tak bisa dipungkiri, banyak orang mulai membandingkan metode represi ini dengan praktik pasukan khusus Gestapo di era Nazi Jerman. Gestapo dikenal sebagai alat kekuasaan yang menebar teror, membungkam oposisi, dan memaksa rakyat tunduk lewat rasa takut. Apakah kita sedang menyaksikan reinkarnasi pola serupa dilaksankan di Indonesia?

Memang, Indonesia tidak pernah ada model polisi rahasia ini. Namun cara menyebarkan rasa takut, lewat penculikan, kriminalisasi, dan pelabelan, terasa memiliki kemiripan identik yang mengerikan. Negara yang seharusnya jadi pelindung justru menjadi sumber ancaman. Aparat yang seharusnya menjaga keamanan justru menebar kecemasan.

Bunyi Alarm Demokrasi dalam Bahaya

Praktik penculikan aktivis, intimidasi, dan pelabelan demonstrasi sebagai “hasutan” bukan sekadar isu teknis penegakan hukum. Ini adalah gejala sakit yang jauh lebih dalam, dimanademokrasi yang digerogoti dari dalam.

Jika publik terus dikebiri dengan rasa takut, maka kontrol sosial akan bergeser dari partisipasi menuju kepatuhan buta. Demokrasi tanpa kritik hanyalah otoritarianisme dengan kostum berbeda. Demokrasi tanpa demonstrasi hanyalah panggung kosong yang menunggu roboh.

Disini, kita perlu bertanya ulang “apakah negara benar-benar ingin menjaga demokrasi, atau sekadar mempertahankan kekuasaan? Apakah aparat benar-benar melindungi rakyat, atau sekadar menjaga agar suara-suara kritis tak pernah terdengar?”

Sebab, sejarah telah membuktikan: tidak ada kekuasaan yang abadi, tapi ketakutan yang dibiarkan berlarut justru bisa mengubur seluruh bangsa dalam sunyi.

 Referensi:

• Amnesty International. (2020). Indonesia: Crackdowns on peaceful protests. Amnesty International.

• Asfinawati. (2019). Hak sipil dan politik dalam bayang-bayang represi. Jakarta: YLBHI.

• Crouch, M. (2019). Law and Politics in Indonesia: A Historical Overview. Cambridge University Press.

• Human Rights Watch. (2019). Indonesia: Activists targeted in Papua protests crackdown. Human Rights Watch.

• KontraS. (2021). Laporan tahunan: Situasi hak asasi manusia di Indonesia. Jakarta: Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan.

• Komnas HAM RI. (2005). Laporan pelanggaran HAM berat kasus penghilangan orang secara paksa 1997–1998. Jakarta: Komnas HAM.

• Lane, M. (2010). Unfinished Nation: Indonesia Before and After Suharto. Verso.

• Mietzner, M. (2018). Authoritarian innovations in Indonesia: Electoral narrowing, identity politics and democratic regression. Democratization, 25(6), 1031–1050.

• Tempo. (2020, October 9). Polisi dituding lakukan kekerasan terhadap demonstran omnibus law. Tempo.co. https://nasional.tempo.co/read/1394524

• Tirto.id. (2021, May 22). Mengapa penculikan aktivis 1998 tak pernah tuntas diusut. Tirto.id.


Posting Komentar

Related Posts